Rabu, 28 September 2016

Cerpen Cerpen Horor Cerpen Fiksi Gerbong Terakhir Maya Madu

[Fiksi Horor dan Horor Misteri]
( sumber foto group fiksiana comunity https://mobile.facebook.com/groups/175201439229892?refid=18&ref=m_notif&notif_t=group_comment_follow&__tn__=C )

GERBONG TERAKHIR
Penulis: Maya Madu


          Peluit panjang terdengar memekak gendang telinga, tergopong aku segera berlari menghampiri gerbong terakhir sesuai petunjuk petugas kereta. Semua penumpang telah siap sebelum aku masuk, bisa dikatakan aku memohon kepada petugas untuk tetap masuk setelah terlambat empat menit dari dua puluh menit keberangkatan.

           12 A, 15 B dan terakhir aku masih berjalan melewati kesibukan masing-masing penumpang. "Ini dia," batinku berjingkat, tempat duduk paling depan sebelah kanan, sehingga tepat di pinggir jalan. Di samping kananku ada seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia balita di samping kiriku ada dua pasang paruh baya yang mulai tertunduk--tertidur.

           Ini perjalananku pertama menggunakan kereta api, biasanya menggunakan bus jurusan Surabaya-Probolinggo-Jember. Namun kali ini star dari Gubeng-Rambipuji Perkiraan hanya lima jam sehingga lebih cepat satu jam jika naik bus.

           Tas ranselku juga tak begitu berat, sebab hanya terdapat satu stel baju, mukena, dan beberapa accesorise juga tiga buku sebagai oleh-oleh road show kepenulisan. Aku dua di antara wanita yang terpilih mewakili Surabaya, sehingga bagaimana caranya aku harus datang apapun alasannya.

            "Permisi, Bu," ucapku terhadap ibu yang membawa anak kecil tadi, ia hanya tersenyum. Di belakangku juga belakang ibu tadi seperti seusiaku--mereka juga tertunduk, seperti tidur. Iseng kutoleh kiri posisiku berdiri, rata-rata mereka tertunduk. "Ah ... mereka sengaja tidur cepat mungkin, sebab hanya rute pendek," batinku sendiri.

            Anak perempuan ibu tersebut sangat aktif, dari naik bangku dan memanggil-manggil seseorang secara cedal sehingga kudengar hanya, "nas ... nas, Buk, Dek, nas."

           Si ibu hanya menggut-manggut. Rautnya seakan lelah dengan beban hidup, sebab dilihat dari usianya tidak sesuai dengan penampilan yang terkesan keriput di sudut mata dan lekuk lehernya. Rambut yang terikat kurang rapi dengan ujung kuku yang hitam, "mungkin ia terlalu sibuk dengan si kecil," kembali aku membatin sendiri.

            Setiap kali hendak tertidur tiba-tiba aku terperanjat dengan suara anak kecil tersebut, "nas ... nas, Buk, nas ...," si ibu mencoba menggendong dan berusaha memeluknya. Namun gadis kecil tersebut memerosot dan turun ke bawah. Tangannya menempel cermin yang tak sampai karena tubuhnya belum begitu tinggi. Tingkahnya yang sangat aktif hanya dipantau oleh sang ibu, sampai pada ia berlari sendiri ke luar--berbatasan dengan kamar mandi. Karena reflek aku mengejarnya, di dekat kamar mandi ada cela kecil jika ditengok batasan antar gerbong ke gerbong berupa engsel yang tertutup keset karet berwarna hitam. Namun terlihat jalan yang dilalui rel dengan kecepatan yang sangat tinggi.

           Gadis kecil itu mengayun-ayunkan kakinya ke bawah dengan posisi duduk. Aku mencoba menariknya, namun tubuhnya berontak--merontah-ronta hendak menghindar dari peganganku. "Nas, nas ... auh ... nas ... auh ...," bahkan aku tak mengerti apa yang terucap.

            Ia meronta dan tangannya menutup wajahku, antara tarikan tanganku dengan tangannya yang menghalangi pandanganku, sedikit terpeleset hingga ia merosot ke bawah.

            "Bu ... tolong ... tolong ...."

             Kaki gadis kecil tersebut terjepit di antara knop engsel yang tak jelas kemana arahnya, darah segar muncrat bertubi-tubi mengenai wajahku, "tolong, Bu, tolongggg ..." Aku menjerit histeris dengan tetap mempertahankan tubuhnya. Sedang tiba-tiba cengkeraman tangan seseorang di bahu kiriku menyuruhnya melepas, tanpa suara namun gerakan tangannya mengisyaratkan membuka dengan jari-jari yang hitam dan terkelupas. Saat kutengok ke atas ternyata ibu sang gadis kecil.

            Apa maksud semua ini, "Bu, i-ini ... ini anaknya terjepit, saya coba menolong," suaraku tersengal, mengeja ucapan hingga terbata-bata. "Kakinya terjepit, darahnya kemana-mana, Bu," aku semakin lemas, sebab melihat darah mengalir tak terhenti. Namun mengapa gadis kecil ini tak bergerak atau bersuara? Apakah ia pingsan atau malah sudah meninggal karena pendarahan hebat.

            Kusandarkan kepala dengan tetap memegangi tubuh gadis kecil itu. Namun tiba-tiba si ibu malah menariknya dengan paksa. Darah segar muncrat kemana-mana. Di dinding, di kaca juga mengenai wajahku. Ia melemparkan anaknya sendiri, ke luar. Suara ibu tersebut kalah dengan deru angin.

           "Perrrgii, loncat. Cepat!" teriak sang ibu, beberapa kali.

           "Kenapa, Bu, kenapa?" aku gugup bercampur heran. Darahku seakan turun, tak ada daya tuk bergerak. Kedua tangan menopang lutut. "Pergi? Loncat? Kenapa?" kembali pertanyaan serupa kuutarakan dengan mendongak ke atas

           "Kamu bukan hitam, jadi kamu bukan milik kami," ucapnya dengan nada sinis.

            Tangannya yang bersimbah darah dengan kulit tangan yang terkelupas kembali mencengkeram pundakku, sampai aku terangkat tegak.

            "Aaa ...."

***

            "Nduk ... Nduk, bangun, Nduk," suara seseorang membangunkanku. Aku meringkuk memeluk lenganku sendiri. Entah kenapa aku tertidur di semak-semak dekat dengan perlintasan kereta. Seingatku sih masih dalam kereta.

           "Ini di mana, tho, Mbah? Kok aku bingung," kepalaku terasa pening sekali.

            "Lho, Nduk, memange sampeyan mau ke mana?"

             "Saya mau ke Kalisat, Mbah," jawabku sembari memijit-mijit kepalaku. Tangannya menjulur memberi bantuan untuk segera berdiri dan berjalan perlahan ke sebuan gardu tak jauh dari lintasan kereta.


             "Ke Kalisat, lah naik apa kok sampeyan sampai tidur di sana," tunjuknya pada tempat pertama kali aku tertidur.

             "Saya sendiri ndak tahu, Mbah, awalnya saya naik kereta dari Gubeng, mau ke Jember. Terus di kereta ada kejadian aneh, tahu-tahu saya sudah tertidur di sana," jawabku mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi.

            'Lonely Day milik Sistem of Down' berteriak-teriak di antara perbincangan kami. Rupanya ponselku berbunyi, dari saku celana jeans kurogoh dan kulihat siapa orang yang memanggil.

           "Permisi, Mbah, saya angkat telepon dulu," pamitku padanya.

             "Hallo ... Iya, Mah, kenapa?"

             "Allahu Akbar, Allahu Akbar ... alhamdulillah, Nis, kamu masih menjawab telepon. Kamu di mana? Sama siapa? Kamu sehat kan, Nduk," suara ibu terdengar sangat mengkhawatirkan aku.

            "Bu, Nisa gak kenapa-kenapa, ada di sini sama-. Nanti Nisa ceritain, Bu, memang kenapa dengan Nisa? Kok Nisa sendiri bingung, Bu," rentetan kejadian seakan maju berputar-putar di kepalaku.

              "Kamu hilang tanpa kabar sudah satu minggu ini, cepat pulang atau ibu suruh jemput masmu saja?"

             "Ndak, Bu, ndak usah, Nisa bisa pulang sendiri kok, ya sudah, Bu, ini mau nyelesain urusan lalu lanjut pulang," jawabku menenangkan ibu, walau sebenarnya puzzle kebingungan ini masih berusaha kutata. "Assalammualaikum."

             "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya, Nduk," kekawatiran ibu semakin membuatku bersalah.

              Setelah telepon ibu ditutup kulanjutkan berbincang dengan kakek yang tadi menemukanku di semak-semak jalan. Perlahan kucoba menceritakan dari awal naik kereta, penumpang yang hampir sebagian tertunduk, juga kejadian aneh gadis kecil, dan ibunya yang mendorongku. Si Kakek yang tak lain adalah petugas perlintasan tersebut menceritakan perihal kereta maut.

             Mitos yang beredar adalah gerbong terakhir kereta yang tak pernah sampai tujuan, sasarannya bisa semua orang yang dikehendaki untuk dibawa serta. Konon kereta terakhir tersebut merupakan kereta angkutan umum dan barang yang bertabrakan dengan truk tangki yang menerobos lintasan. Gerbong terakhir terjilat api dan satu gerbong terbakar kecuali anak kecil yang terlempar saat kejadian. Usianya juga sekitaran balita, namun keberadaannya hingga kini juga masih misteri. Seketika bulu kudukku meremang dan beristighfar berkali-kali, "apa aku hanya mimpi," kembali aku membisik.

            "Ini apa," Si Kakek menunjuk sesuatu ke arah wajahku.


             "Di depan cermin yang terletak tak jauh dari jendela gardu aku mencoba melihat wajahku sendiri, betapa mengerikan ketika sisa-sisa darah kering yang menempel di wajahku. Dengan telapak tangan kucoba menghapusnya.

             "Sekarang kamu mau pulang ke mana, Nduk?" tanya si kakek kemudian.

              Degh ... aku baru teringat di mana tas ransel beserta isinya? Permasalahan kembali muncul, bagaimana aku harus pulang saat ini? [*]

Malang, 28 September 2016