Rabu, 28 September 2016

Cerpen Cerpen Horor Cerpen Fiksi Gerbong Terakhir Maya Madu

[Fiksi Horor dan Horor Misteri]
( sumber foto group fiksiana comunity https://mobile.facebook.com/groups/175201439229892?refid=18&ref=m_notif&notif_t=group_comment_follow&__tn__=C )

GERBONG TERAKHIR
Penulis: Maya Madu


          Peluit panjang terdengar memekak gendang telinga, tergopong aku segera berlari menghampiri gerbong terakhir sesuai petunjuk petugas kereta. Semua penumpang telah siap sebelum aku masuk, bisa dikatakan aku memohon kepada petugas untuk tetap masuk setelah terlambat empat menit dari dua puluh menit keberangkatan.

           12 A, 15 B dan terakhir aku masih berjalan melewati kesibukan masing-masing penumpang. "Ini dia," batinku berjingkat, tempat duduk paling depan sebelah kanan, sehingga tepat di pinggir jalan. Di samping kananku ada seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia balita di samping kiriku ada dua pasang paruh baya yang mulai tertunduk--tertidur.

           Ini perjalananku pertama menggunakan kereta api, biasanya menggunakan bus jurusan Surabaya-Probolinggo-Jember. Namun kali ini star dari Gubeng-Rambipuji Perkiraan hanya lima jam sehingga lebih cepat satu jam jika naik bus.

           Tas ranselku juga tak begitu berat, sebab hanya terdapat satu stel baju, mukena, dan beberapa accesorise juga tiga buku sebagai oleh-oleh road show kepenulisan. Aku dua di antara wanita yang terpilih mewakili Surabaya, sehingga bagaimana caranya aku harus datang apapun alasannya.

            "Permisi, Bu," ucapku terhadap ibu yang membawa anak kecil tadi, ia hanya tersenyum. Di belakangku juga belakang ibu tadi seperti seusiaku--mereka juga tertunduk, seperti tidur. Iseng kutoleh kiri posisiku berdiri, rata-rata mereka tertunduk. "Ah ... mereka sengaja tidur cepat mungkin, sebab hanya rute pendek," batinku sendiri.

            Anak perempuan ibu tersebut sangat aktif, dari naik bangku dan memanggil-manggil seseorang secara cedal sehingga kudengar hanya, "nas ... nas, Buk, Dek, nas."

           Si ibu hanya menggut-manggut. Rautnya seakan lelah dengan beban hidup, sebab dilihat dari usianya tidak sesuai dengan penampilan yang terkesan keriput di sudut mata dan lekuk lehernya. Rambut yang terikat kurang rapi dengan ujung kuku yang hitam, "mungkin ia terlalu sibuk dengan si kecil," kembali aku membatin sendiri.

            Setiap kali hendak tertidur tiba-tiba aku terperanjat dengan suara anak kecil tersebut, "nas ... nas, Buk, nas ...," si ibu mencoba menggendong dan berusaha memeluknya. Namun gadis kecil tersebut memerosot dan turun ke bawah. Tangannya menempel cermin yang tak sampai karena tubuhnya belum begitu tinggi. Tingkahnya yang sangat aktif hanya dipantau oleh sang ibu, sampai pada ia berlari sendiri ke luar--berbatasan dengan kamar mandi. Karena reflek aku mengejarnya, di dekat kamar mandi ada cela kecil jika ditengok batasan antar gerbong ke gerbong berupa engsel yang tertutup keset karet berwarna hitam. Namun terlihat jalan yang dilalui rel dengan kecepatan yang sangat tinggi.

           Gadis kecil itu mengayun-ayunkan kakinya ke bawah dengan posisi duduk. Aku mencoba menariknya, namun tubuhnya berontak--merontah-ronta hendak menghindar dari peganganku. "Nas, nas ... auh ... nas ... auh ...," bahkan aku tak mengerti apa yang terucap.

            Ia meronta dan tangannya menutup wajahku, antara tarikan tanganku dengan tangannya yang menghalangi pandanganku, sedikit terpeleset hingga ia merosot ke bawah.

            "Bu ... tolong ... tolong ...."

             Kaki gadis kecil tersebut terjepit di antara knop engsel yang tak jelas kemana arahnya, darah segar muncrat bertubi-tubi mengenai wajahku, "tolong, Bu, tolongggg ..." Aku menjerit histeris dengan tetap mempertahankan tubuhnya. Sedang tiba-tiba cengkeraman tangan seseorang di bahu kiriku menyuruhnya melepas, tanpa suara namun gerakan tangannya mengisyaratkan membuka dengan jari-jari yang hitam dan terkelupas. Saat kutengok ke atas ternyata ibu sang gadis kecil.

            Apa maksud semua ini, "Bu, i-ini ... ini anaknya terjepit, saya coba menolong," suaraku tersengal, mengeja ucapan hingga terbata-bata. "Kakinya terjepit, darahnya kemana-mana, Bu," aku semakin lemas, sebab melihat darah mengalir tak terhenti. Namun mengapa gadis kecil ini tak bergerak atau bersuara? Apakah ia pingsan atau malah sudah meninggal karena pendarahan hebat.

            Kusandarkan kepala dengan tetap memegangi tubuh gadis kecil itu. Namun tiba-tiba si ibu malah menariknya dengan paksa. Darah segar muncrat kemana-mana. Di dinding, di kaca juga mengenai wajahku. Ia melemparkan anaknya sendiri, ke luar. Suara ibu tersebut kalah dengan deru angin.

           "Perrrgii, loncat. Cepat!" teriak sang ibu, beberapa kali.

           "Kenapa, Bu, kenapa?" aku gugup bercampur heran. Darahku seakan turun, tak ada daya tuk bergerak. Kedua tangan menopang lutut. "Pergi? Loncat? Kenapa?" kembali pertanyaan serupa kuutarakan dengan mendongak ke atas

           "Kamu bukan hitam, jadi kamu bukan milik kami," ucapnya dengan nada sinis.

            Tangannya yang bersimbah darah dengan kulit tangan yang terkelupas kembali mencengkeram pundakku, sampai aku terangkat tegak.

            "Aaa ...."

***

            "Nduk ... Nduk, bangun, Nduk," suara seseorang membangunkanku. Aku meringkuk memeluk lenganku sendiri. Entah kenapa aku tertidur di semak-semak dekat dengan perlintasan kereta. Seingatku sih masih dalam kereta.

           "Ini di mana, tho, Mbah? Kok aku bingung," kepalaku terasa pening sekali.

            "Lho, Nduk, memange sampeyan mau ke mana?"

             "Saya mau ke Kalisat, Mbah," jawabku sembari memijit-mijit kepalaku. Tangannya menjulur memberi bantuan untuk segera berdiri dan berjalan perlahan ke sebuan gardu tak jauh dari lintasan kereta.


             "Ke Kalisat, lah naik apa kok sampeyan sampai tidur di sana," tunjuknya pada tempat pertama kali aku tertidur.

             "Saya sendiri ndak tahu, Mbah, awalnya saya naik kereta dari Gubeng, mau ke Jember. Terus di kereta ada kejadian aneh, tahu-tahu saya sudah tertidur di sana," jawabku mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi.

            'Lonely Day milik Sistem of Down' berteriak-teriak di antara perbincangan kami. Rupanya ponselku berbunyi, dari saku celana jeans kurogoh dan kulihat siapa orang yang memanggil.

           "Permisi, Mbah, saya angkat telepon dulu," pamitku padanya.

             "Hallo ... Iya, Mah, kenapa?"

             "Allahu Akbar, Allahu Akbar ... alhamdulillah, Nis, kamu masih menjawab telepon. Kamu di mana? Sama siapa? Kamu sehat kan, Nduk," suara ibu terdengar sangat mengkhawatirkan aku.

            "Bu, Nisa gak kenapa-kenapa, ada di sini sama-. Nanti Nisa ceritain, Bu, memang kenapa dengan Nisa? Kok Nisa sendiri bingung, Bu," rentetan kejadian seakan maju berputar-putar di kepalaku.

              "Kamu hilang tanpa kabar sudah satu minggu ini, cepat pulang atau ibu suruh jemput masmu saja?"

             "Ndak, Bu, ndak usah, Nisa bisa pulang sendiri kok, ya sudah, Bu, ini mau nyelesain urusan lalu lanjut pulang," jawabku menenangkan ibu, walau sebenarnya puzzle kebingungan ini masih berusaha kutata. "Assalammualaikum."

             "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya, Nduk," kekawatiran ibu semakin membuatku bersalah.

              Setelah telepon ibu ditutup kulanjutkan berbincang dengan kakek yang tadi menemukanku di semak-semak jalan. Perlahan kucoba menceritakan dari awal naik kereta, penumpang yang hampir sebagian tertunduk, juga kejadian aneh gadis kecil, dan ibunya yang mendorongku. Si Kakek yang tak lain adalah petugas perlintasan tersebut menceritakan perihal kereta maut.

             Mitos yang beredar adalah gerbong terakhir kereta yang tak pernah sampai tujuan, sasarannya bisa semua orang yang dikehendaki untuk dibawa serta. Konon kereta terakhir tersebut merupakan kereta angkutan umum dan barang yang bertabrakan dengan truk tangki yang menerobos lintasan. Gerbong terakhir terjilat api dan satu gerbong terbakar kecuali anak kecil yang terlempar saat kejadian. Usianya juga sekitaran balita, namun keberadaannya hingga kini juga masih misteri. Seketika bulu kudukku meremang dan beristighfar berkali-kali, "apa aku hanya mimpi," kembali aku membisik.

            "Ini apa," Si Kakek menunjuk sesuatu ke arah wajahku.


             "Di depan cermin yang terletak tak jauh dari jendela gardu aku mencoba melihat wajahku sendiri, betapa mengerikan ketika sisa-sisa darah kering yang menempel di wajahku. Dengan telapak tangan kucoba menghapusnya.

             "Sekarang kamu mau pulang ke mana, Nduk?" tanya si kakek kemudian.

              Degh ... aku baru teringat di mana tas ransel beserta isinya? Permasalahan kembali muncul, bagaimana aku harus pulang saat ini? [*]

Malang, 28 September 2016



Selasa, 29 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part3),Supranatural,Indigo,Maya Madu


#Tantangan100HariMenulisNovel
No. REG : 36


MATA KETIGA
Penulis : Maya Madu




Gambar Koleksi Maya Madu Art


BAB 3
AWAN HITAM

(Sebelumnya lanjutan Bab 2 hingga habis)


Olla memeriksa suhu tubuh anaknya, panasnya memang reda. Ia berharap besuk sudah boleh pulang. Tanggannya membenarkan letak baju anaknya, "Udah, Ma, gak papa kok. Pijitin ajah deh."


"Hm ... dasar yaa, anak Mama sudah pada gede jadi malu kalau dibenerin segalanya. Lho, Di, ini apa?" Olla tak sengaja melihat tanda merah kecokelatan, justru kaos yang melekat di tubuh Aldi diangkat ke atas, betapa terkejut ketika Olla juga disaksikan Risyam melihat bekas telapak tangan berwarna merah kecokelatan. "Apaan sih ini?"


Aldi meronta, ia tak ingin membuat Mamanya khawatir terhadap dirinya. "Gak papa, Ma. Entar juga hilang sendiri kok. Gak ada yang perlu dikhawatirin." Sebuah memar merah kecokelatan seperti yang tadi Aldi kisahkan, bahwa ia bertarung dengan sosok yang sangat besar dan menggunakan pakaian serba hitam. Risyam dan Olla bersitatap mereka masih bingung atas keganjilan yang terjadi pada adeknya.


Hello, it's me. I was wondering if after all these years lirik lagu Adele mengalun dari handpone Olla. Diperhatikannya layar nama yang tertera, Saqila. Mengapa neh bawel nepon gue. 


"Kak, kakak di mana? Kok rumah sepi. Neh ada Pak Yayan sama beberapa warga lagi ngumpul di sekitaran rumah kamu. Dan yang aku lihat ada banyak ulat bulu di sekitaran pintu masuk. Coba deh cek sendiri kalau sudah pulang. Aldi yang sedang rebahan di tempat tidur rumah sakit hanya menyimak dengan mata tak berkedip. Risyam sibuk dengan headseat yang terhubung dengan handpone-nya. "Entar, Dek, kalau udah pulang, sekalian besuk ajah. Gue ama Risyam jagain si Aldi. Aldi opname, demamnya tinggi. Tapi udah mendingan sih sekarang. Nanti Papahnya yang ngecek kalau udah pulang. Thanks yee, Dek."

"Okey deh, Kak, semoga si Aldi lekas sembuh. Salam juga ama Risyam."
"Siap, entar disalamin."

Setelah telepone ditutup Olla hanya geleng-geleng kepala pelan, ia seakan lelah dengan apa yang sedang di hadapinya.

"Ma, entar kita pulangnya ke rumah Kakek ajah sementara, di rumah lagi banyak tamu." Aldi tiba-tiba menyambar omongan.

"Tamu siapa, Di? Kok kamu tahu?"

"Kalau gak percaya tanya ajah Papa, dia yang ngerti kok."

Tamu yang di maksud Aldi adalah musuh-musuh kasat mata yang dikirim seorang saingan Rozi Fauzan, suami Olla. Bisnis properti-nya mengalami kemajuan pesat. Sebab ia berani menyebar koneksi dengan lingkup selain di Malang saja. Apalagi permintaan pangsa sedang bagus untuk proyek rumah sederhana. Sehingga tak sedikit yang berniat buruk padanya. Olla menelepone suaminya, menanyakan apa yang terjadi. Beberapa kali mencoba mengubungi sampai akhirnya suara berat lelaki pecandu nikotin dari balik handpone menjawab.

"Pah, Papa di mana neh?"

"Udah sampai rumah neh, Ma. Lah Mama sendiri di mana? Anak-anak juga." 

"Si Aldi masuk rumah sakit, Pa, sekarang aku sama Risyam jagain dia. Kami di RSI Unmuh."

"Lho, kok sampai opname, memang kenapa?"

"Demam, Pa, sampai mengigil. Sekarang sudah mendingan, besuk sudah boleh pulang kok. Papa sama siapa di rumah?"

"Kok Mama tanyanya gitu? Tahu kalau Papa sedang sama Gus Ali. Ada sedikit masalah Ma, kalau udah di rumah Papa ceritain. Untuk sementara kalian nginap di rumah Bapak yah."

"Masalah apa?" Wanita 25 tahun tersebut menyilakan rambut yang jatuh di wajahnya yang lelah. Kecambuk tanya masih bersarang di pikirannya, apalagi yang sedang terjadi pada keluarganya. Ini bukan hal baru dalam hidupnya, sebab pernah saat suaminya mendapatkan tander pembangunan masjid dan jalan masuk perumahan elit di kota ini. Sempat kecelakaan--jatuh dari lantai dua, yang notabene-nya aman. Jatuhnya pun seperti ada yang menarik kaki sebelah kiri Rozi. Namun Rozi menganggapnya musibah, bukan sesuatu yang ganjil.


***


BAB 3
AWAN HITAM


Belahan bumi bagian timur Kota Malang berawan, kesibukan para pekerja dimulai semenjak matahari menampakkan sinarnya. Di kota ini hampir menjadi kota metropolis, kota tak pernah tidur. Saqila telah bersiap kerja, hari Jumat hingga Minggu menggunakan pakaian bebas tanpa seragam butik. Jogger Pant dengan kemeja flanel biru dipadukan dengan ikat rambut tinggi tanpa sisa, tampak elegan namun girly. Bibirnya terpulas lipbalm rose ping sehingga tampak berbinar namun teduh. Membuat mata yang melihat ingin sekadar menyapa untuk mendekat. Ia berpamitan kepada Mama Fatma dengan mencium punggung tangan serta kening wanita 49 tahun tersebut. Selalu mendoakan yang terbaik setiap hendak mencari nafkah untuk anak gadisnya.


Keceriaan wajahnya sesuai dengan keceriaan perangainya, tak ada penghuni stand yang tak luput disapanya. Kesupelan-nya membuat dikenal banyak orang. Sesampainya di butik dan menempelkan jari manisnya ke finger touch  ia pergi ke kamar ganti untuk mengecek dandanannya. Beberapa lama tak suara sampai teman satu shif dengannya mendatangi untuk berbicara.

"Lama banget La ... La ... Qila sya lala lala. Saatnya cari Brownis--brondong manis apa cari Duren Srikaya--duda keren kaya raya, neh. Hahaha." Namun yang diajak bicara tak ada tanggapan hingga gadis berpipi tirus tersebut membuka kamar ganti butik. Alangkah terkejutnya mendapati Saqila sedang jongok menahan sesuatu. Teman butiknya ikut panik ia memanggil-manggil Saqila. 

"Sakit, Ri. Tolong aku." Tak ada suara setelah itu. Teman kerjanya bingung, hingga membiarkan tubuh Saqila tertidur di lantai, ia sedang mencari bantuan. Security yang sedang bertugas dipanggil guna menolong temannya. Saqila pingsan beberapa menit, setelah diberi minyak angin lantas siuman. Namun yang membuat gadis bermata bulat memekik histeris lantaran kakinya tak bisa untuk menumpu lantai. Seperti lumpuh layu, tanpa tenaga, namun masih bisa berbicara. 

"Ri, aku kenapa? Kok tiba-tiba seperti ini, tolong bilang sama Yoga dan Dion security itu untuk bantu aku pulang sampai rumah. Tolong izinkan sama Bu Bos yah." Gadis yang dipanggil Ri menggangguk, security yang menolong Saqila segera menyampaikan kepada kedua temannya yang sudah selesai bertugas. "Sabar yah, La, semoga kamu cepet sehat." Saqila hanya menggangguk lemas.

Sesampainya di rumah Mama Fatma panik, bingung mengapa Saqila dipapah oleh kedua lelaki bersergam biru-dongker. Saqila hanya berkata lirih, "Aku gak papa kok, Ma."

"Gak papa gimana? Wong kamu seperti ini." Mama Fatma memersilakan kedua lelaki yang membantu anaknya untuk duduk dan beramah-tamah sejenak. Namun keduanya langsung pamit kepada Saqila dan Mama Fatma.

"Makasih yah, Mas, semoga cepet dapet jodoh." Sembari tersenyum Saqila sempat mencandai mereka.

"Nah, kamu juga keles." Juluran lidah Dion pada Saqila, "cepet sembuh yaa." Mereka melangkah pergi dan memberi salam.

Dalam keadaan sedih masih sempat bercanda. Mama Fatma menatap wajah kuyu anak gadisnya, "Kenapa lagi, Nak?" Saqila menggeleng pelan, air matanya mengalir di kedua sudut mata. Tangan Mama Fatma digenggam erat, "Maafin Aku, Ma, jika Aku ada salah sama Mama." Mama Fatma menyeka air mata yang merembas di pipinya. "Tiba-tiba Aku tak bisa jalan." Derai air mata Saqila semakin membanjir, dipeluknya Mama Fatma sebagai penenang baginya.

"Sudah, Qi, nanti malam kita ke Dokter Andy saja. Mungkin kamu terkena virus lumpuh layu. Bukannya di RT 2 juga ada yang kena."

"Tapi, Ma ... aku gak sakit, badanku juga gak panas. Waktu itu saat sampai di butik aku ke ruang ganti, saat bercermin seakan-akan ada awan hitam di sudut ruangan. Nah aku kira mataku yang bermasalah, mungkin pantulan cermin yang membias terkena embusan napas. Soalnya saat itu memang lampu gak aku hidupin cuma mengandalkan cahaya dari atas bufet. Aku menghalau cermin dengan harapan bisa bersih, ternyata kakiku malah sakit. Aku pijit-pijit telapak kakiku malah makin sakit, lantas gak ingat apa-apa." Mama Fatma menyimak anaknya bercerita. Lantas menenagkannya untuk segera beristirahat.


***


Saqila telah berobat ke dokter kesekian kalinya, bahkan ahli akupuntur. Dengan harapan ada jawaban atas sakit yang dideranya. Hampir satu minggu ia tergolek lemah di kasur. Wajah cerianya memburam-lesu. Nafsu makannya menurun drastis, saat diperiksakan untuk kedua kali malah hanya diberi vitamin dan obat penenang. Diagnosa dokter hanya kecapean dan strees. Mama Fatma semakin kerepotan, sebab jika hendak ke kamar mandi harus ditemani dan dipapah berjalan. Semangat hidup Saqila memudar, bahkan ia lupa tentang orang-orang terdekatnya. Kecantikan yang biasa mewarnai cermin seakan sengaja ditutup. Kerung matanya semakin menjorok ke dalam, bibirnya kering dan pucat. Tak ada lagi warna-warni pelangi kehidupan. Gelap dan suram, kesepian dan kesendirian sengaja diciptakan Saqila.


Melihat kondisi Adiknya yang seperti mayat hidup di atas kasur membuat Qonita ngilu. Santer terdengar kabar miring bahwa Saqila terkena kembang amben sebuah pelet yang dikirim seseorang untuk menyengsarakan korbannya. Tak ada yang tahu jika si korban terkena pelet ini. Sebab tanda-tandanya tak seperti pelet pada umumnya. Yang diserang memang kekuatan otot-otot tubuh, tubuh seakan tak bertulang dan tak berotot. Si korban hanya tertidur di kamar, biasanya meratapi diri dan jika korban tak kuat atas sakit yang tak kunjung sembuh maka jalan paling akhir adalah kematian--bisa bunuh diri atau mati karena dehidrasi akut. Qonita membawa ahli spiritual yang disarankan oleh suaminya. Sedangkan Mama Fatma pasrah atas apa yang terjadi. 


Lelaki berrambut perak yang dibawa ke rumah Saqila bernama Kang Hariri, setelah meminta izin untuk mengobati Saqila. Ia meminta sebuah media perantara. Berupa air putih hangat kuku, yang dipegang Saqila serta diberi bacaan ayat-ayat Alquran; Al-Fatihah 3x, tiga Qulhu masing-masing 3x. Kang Hariri sendiri membawa sebuah gelang monel yang nanti dipakai Saqila. Mata Kang Hariri terpejam, semacam berdoa dan kedua tangannya menggosok gelang, hingga tak kuat dan gelang tersebut terjatuh di sekitar kaki Qonita. Qonita memungut gelang monel tersebut namun dihempaskan lagi, "Aduh, kok panas yah, Pak." Suami Qonita mencoba memegangnya juga dan hal yang sama juga dirasakannya. Setelah membaca basmalah Kang Hariri kembali memungut gelang tersebut, dilapisi tisu hingga tak terlalu panas. Qonita membantu memasangkan di tangan kanan adiknya. Lantas Saqila meminum air yang ia doakan sendiri.

"Setengah diminum, lantad setengahnya silakan dibalurkan pada seluruh tubuh, termasuk kaki dan telapaknya. Inshaa Allah semoga lekas diberi kemudahan oleh Allah," Kang Hariri menjelaskan.


Mama Fatma tampak cemas, ia berharap anaknya sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala. "Percayalah, Anakku, Allah tak akan menguji hambanya melebihi kekuatan yang ia miliki." Saqila kembali menangis dipelukan Mama Fatma. Kang Hariri berpesan jika ia harus memaafkan segala kesalahan orang yang melukainya. Apa kesalahan itu hanya Saqila dan keluarganya yang tahu. Setelah proses pengobatan wirid yang Kang Hariri lakukan, lantas ia berpamitan kepada keluarga Saqila.

"Terima kasih, Kang. Semoga adik ipar saya segera sembuh. Kasihan masih muda."

"Iya, Bang, moga tuh sihir lari. Kerjaan orang yang tak terima dengannya. Tolong beri tahu dia, Bang, hati-hati dengan lelaki. Sepertinya ulah orang dekat. Saya tak bisa sebutkan, sebab takut fitnah." Kang Hariri berjalan diikuti suami Qonita, mereka masuk Mobilio merah yang dikemudikan suami Qonita.

***

Suasana senja sangatlah cantik, sebab warna saga berbalut violet yang indah. Saqila duduk di sebuah amben bambu berplitur, tempat Abuya dulu rebah sore. Namun semenjak Abuya meninggal hanya menjadi tempat barang-barang yang tak difungsikan seperti sebelumnya. Pagar rumah berwarna kuning gading bersanding hijau apel membuat rumah ini semakin sejuk. Mama Fatma sedang ke rumah tetangga, setelah memapah Saqila di amben depan lantas membuka pagar begitu saja. Sosok lelaki berkemeja garis hitam-abu berpadu celana jins hitam pekat berdiri di dekat pagar rumah Saqila.

"Selamat sore, Tuan Puteri, sudah sehatkah Anda?" Mata Saqila terbeliak, bibir bawahnya digigit--cemas. Seseorang yang sangat ia hafal. Seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membawa Saqila pada titik paling rendah. Mantan tunangannya, lebih tepatnya mantan calon suami. 


Dua Tahun Lalu


Hari yang dinanti para gadis ketika dambaan hatinya mengetuk pintu rumah untuk mengikat janji suci. Riki Rakabumi, lelaki yang Saqila kenal melalui teman kerjanya (saat Saqila bekerja di bidang intertaimen) telah berjanji akan sehidup-semati dengannya. Tak perlu menunggu terlalu lama, hanya tujuh bulan mereka kenal dan dekat, Riki melamar Saqila secara pribadi. Yang selanjutnya secara resmi di hadapan keluarganya. Sifat posesive tempramental telah diketahui oleh Saqila, namun rasa cinta dan tanggung jawab--menurutnya. Membuat menyisihkan sifat buruk calon suaminya. Persiapan pernikahan telah 85% sebab dua hari kemudian mereka menjadi sepasang kekasih halal. Prosesi pingitan menjadi cara unik untuk menebar kerinduan, tentu saja menyiksa bagi Riki. Sebab sedikit saja lost contack dengan Saqila pasti ia mencak-mencak.


Rasa rindu membuat Saqila nekat bertandang ke kontrakan calon suaminya, tentunya dengan alasan yang diada-adakan. Dalam langkah penuh hati-hati Saqila mengendap-endap memasuki rumah Riki, berharap memberi suppraise tentang kedatangannya. Sesuatu yang janggal terlihat, namun tak dihirau oleh Saqila. Diteroboslah kamar Riki berharap ia mendapatkannya. Namun justru suppraise itu berbalik ke arahnya, bukan kejutan kebahagiaan namun kehancuran. Di depan mata telanjang Saqila mendapati calon suaminya sedang berkelamin dengan wanita lain. Begitu remuk-redam hati Saqila, bahkan suaranya tak dapat berteriak. Syok dan sangat terpukul sekali. Riki mengetahui kedatangan Saqila dan berusaha mengejarnya, namun kondisi saat itu tak memungkinkan ia dapat menangkap Saqila. Kepalan tangan Riki menghantam tembok bertubi-tubi.


Semenjak insiden menjijikkan itu membuat Saqila benar-benar membenci Riki, bahkan bertemu dengannya pun enggan. Rasa malu yang didera Saqila dan keluarga menjadi prasasti dalam kehidupan Saqila. Tentu saja Riki tak serta-merta terima dengan keputusan sepihak Saqila. Sumpah serapah diucapkannya, "Beibz, jika aku tak bisa memilikimu, orang lain tak 'kan bisa menyentuhmu. Kau tahu apa maksudku? Kau akan menjadi perawan selamanya. Kecuali aku yang merengutnya. Hahaha." Suara-suara memuakkan tersebut selalu menjadi momok dalam diri Saqila, terutama Mama Fatma yang percaya dengan omongan tetangga. Namun dalam pemikiran Saqila ia masih punya Tuhan tempat berkeluh-peluh yang selalu menjaga kerahasiaan masalahnya.


"Mungkin saat ini kau masih bisa sembuh, tapi esok aku yang akan menyiksamu. Dalam kesendirianmu, dalam pesakitanmu. Kecuali jika kau mau kembali padaku." Lelaki berkemeja garis hitam-abu tersebut melangkah pergi setelah menjatuhkan putung rokok yang ia injak dengan geram. Pergilah kau virus, sebab kedatanganmu tak menjadikanku luluh terhadapmu, ceracau Saqila dengan tubuh yang mengigil. Mama Fatma yang mengetahui anaknya pucat segera membawanya ke kamar, dan memberikan minyak gosok untuk menghangatkan tubuhnya.

 "Ada apa, Sayang? Seperti orang ketakutan." Gadis bersweeter aqua tersebut hanya menggeleng dan merebahkan kepalanya pada bantal. Matanya menerawang langit-langit kamar. Sekali pun tak ada lelaki di dunia ini, aku tak 'kan kembali padamu, Virus. Saqila masih terus berceracau sendiri. 


***


Perlahan kekuatan tubuh Saqila mulai pulih, otot kakinya semakin kuat. Demam dalam tubuhnya berangsur hilang, tak lagi serangan demam tiba-tiba. Namun ia masih tak suka suasana gelap, sehingga dalam keadaan tidur dengan lampu menyala. Pengobatan dari Kang Hariri juga sudah dihentikan, sebab menurut Kang Hariri sugesti kesembuhan ada dalam diri manusia itu sendiri. Saqila yakin bahwa ia harus memulai langkah baru, dengan semangat baru pula. Tanpa terus terkungkung oleh bayangan masa lalu lelaki pengecut itu.
Hampir seminggu Saqila aktif di rumah, dengan beberapa hasil goresan tangannya. Jauh sebelum adanya moment dalam bulai ia telah prepare untuk desain-desain yang nanti diajukan ke bos butik. Handpone berwarna putih dengan layar 5" diraihnya. Mengubungi seseorang yang ia perlukan.

"Assalammualaikum, Mba' Yen."


"Alaikum salam, Qila, apa kabar? Maaf belum sempat menjenguk kamu, aku luar kota terus."

"Alhamdulillah baik, Mbak, semoga Mbak dan keluarga juga demikian. Iya ini sudah baikan kok." Ia mengambil napas panjang unguk melanjutkan pembicaraan, "Mbak, aku mau masuk kerja lagi masih bisa, kan? Aku juga ada beberapa sket baju muslim modern." Setelah berbicara sedikit kelegaan dalam dadanya, sekali pun belum memperoleh jawaban."

"Ya Allah Saqila ... bukannya Mbak sudah pernah bilang sama kamu, jika udah sehat balik lagi ke butik. Kamu sudah eMbak anggap adik sendiri. Semangat kamu untuk inovasi baru sangat berwarna. Ayo kapan masuk lagi, Mbak tunggu yah."

"I-iya ... Mbak, makasih banyak. Diusahain besuk masuk kok." Ada gurat bahagia di raut Saqila, setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dengannya. Dengan loyalitas kerja, dengan pengertian saat ia sakit. Berita baik ini disampaikan kepada Mama Fatma. Melihat anaknya kembali sehat Mama Fatma ikut merasakan kebahagiaan.

***  

(Bersambung di Bab 4 yah . Mangga kasih saran dan kritikanya :) ditunggu :


30 Maret 2016
Maya Madu








Selasa, 22 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part2),Supranatural,Indigo,Maya Madu

#Tantangan100HariMenulisNovel
Penulis : Maya Madu
No. Reg : 36



BAB 2
GREAT MAMA



Ibu muda nan seksi berjalan tergesa, beberapa kali sesuatu yang dibawanya terjatuh, bukan disengaja namun karena sikapnya yang terburu-buru. Rumah berpagar setengah tinggi tubuh manusia dewasa diketuknya untuk beberapa kali. Sampai akhirnya seorang gadis bergelung di atas kepala dengan ikat rambut yang juga besar menyambutnya.

"Cie ... cie ... emak gaul udah cantik, mau ngajakin jalan neh?" ledek gadis tersebut sembari bersandar di pelipis pintu. Yang ditanya malah terlihat panik dengan mimik wajah yang sulit dijelaskan.

"Dek, please, tolongin gue. Aldi, Dek ... Aldi."

"What? Aldi kenapa, Kak? Sini deh masuk dulu."

"Aduh, kagak sempet. Pokoknya elu kudu anter gue, Dek. Gue bingung minta tolong ama siapa lagi. Aldi di kantor polisi." Gadis bergelung tersebut membulatkan mata dengan bibir terbuka membentuk huruf 'O'. Menggangguk pelan, lantas berlari masuk rumah mengambil handpone dan jaket.

"Yuk ..., Kak." Mereka berjalan tergesa hingga ke jalan raya.
Olla menyetop taxi yang melewati arah komplek perumahannya, mungkin itu taxi yang telah dipesan tadi atau malah kebetulan lewat.

"Pak, Polres pusat yah, cepetan," ucap salah satu perempuan yang duduk di jok belakang taxi.

"Iya, Bu." Supir berseragam biru langit bertopi dongker menyalakan speed harga yang dimulai dari angka 5.000,-. Saqila duduk pas di belakang supir, sedang Olla berada di samping Saqila. Perlahan setelah mengambil nafas panjang ia menjelaskan kronologi mengapa anak angkatnya itu sampai ke kantor polisi. Sepulang sekolah tadi Aldi menegur teman wanita yang berbeda kelas. 'Jangan urakan di jalan'. Sebab temannya tersebut sedang berboncengan dengan tiga anak sekaligus, tanpa savety helm juga. Posisi mereka juga ngebut dan berjalan zig-zag menakut-nakuti teman yang sedang jalan hendak ke halte depan jalan raya. Aldi menegur mereka, 'jangan ngebut entar jatuh, lho!' Namanya anak-anak kalau dikasih tahu masih saja menyepelekan. Aldi memberi peringatan untuk kedua kali, namun mereka juga tak menggubris. Dengan berteriak-teriak Aldi menyampaikannya. Saat hendak teriak untuk ketiga kalinya sepeda motor itu telah tersungkur, ban belakang terpeleset undukan pasir saat mengerem mendadak. Posisi pengendara parah hingga dilarikan ke UGD, sedang kedua temannya digiring ke kantor polisi beserta Aldi sebagai saksi mata.


Olla membayar ongkos taxi dan berjalan menuju resepsionis depan Polresta. Setelah beberapa perbincangan, akhirnya bapak berseragam polisi tersebut menunjukkan ruangan yang dimaksud Olla. Tak lupa Olla mengucapkan terima kasih, lantas mereka berjalan ke lantai dua. Ada dua wanita teman anaknya di sana, juga Aldi dan satu polisi sebagai pencatat kasus kecelakaan tunggal.

"Kamu gak papa, Nak?" Yang ditanya hanya menggeleng lantas tertunduk, seakan penyesalan atas apa yang diucapkan.

"Tante, itu Aldi nyumpahin kami jatuh. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali." Seorang gadis berambut lurus berekor kuda menyalak. "Huum, Tante, emang si Aldi tuh yang bermasalah, kita jadi apes tauk." Teman si gadis ikut menyalahkan. Bukan menyadari perbuatannya malah menyalahkan orang lain. Aldi hanya menggeleng, tangan kanannya memijit-mijit kaki kirinya.

"Kamu, kenapa, Di?" tanya Olla yang mengkhawatirkan keadaan anaknya. Diperhatikan kaki Aldi dengan posisi sedikit menekuk lutut. Kain seragam abu-abu tersebut disingkap hingga sebatas lutut, dan bekas memar merah membilur di kaki Aldi. "Ini apa? Kenapa sampai merah begini. Gimana sih ceritanya? Coba kasih tahu Mama." Beberapa lama Aldi hanya bungkam dan menjawab 'tidak tahu' namun Olla terus saja mendesak hingga Aldi menceritakannya.

"Aku berusaha peringatin mereka, Ma. Bukan hanya sekali sebab mereka bawa sepedanya sambil ngebut dan jalannya belok-belok. Saat mereka memutar yang ketiga kali sambil nakut-nakutin kita yang jalan lantas nyerempet kaki kiriku. Aku udah ngomong lagi, tapi mereka malah kabur pas habis nyerempet aku."

Di hadapan polisi mereka berdua ditanya kembali bagaimana kronologi kejadiannya. Namun jawaban dari keduanya kurang kompak sehingga lelaki berkumis tebal yang sedang mengetik sesuatu sedikit mengangkat suara. Dengan terbata gadis berekor kuda menjelaskan bahwa apa yang diceritakan Aldi benar adanya. Mereka berdua meminta maaf dan mohon jangan sampai diperkarakan. Mereka takut jika orang tuanya tahu.

"Tante, maapin kita berdua yah. Temen kita masih di UGD, Tante. Jika pemeriksaan di sini sudah selesai kita mau pamit ke sana." Olla bergeming, lantas menjelaskan kepada polisi yang bertugas  bahwa kasus ini akan diselesaikan secara kekeluargaan. Namun berkas perkara yang terlanjur dituliskan harus melalui prosedur administrasi yang ditentukan. Setelah Olla menyelesaikan pembayaran, akhirnya ikut ke UGD-Saiful Anwar yang terletak di seberang jalan.

Saat berada di UGD ternyata pengemudi yang juga teman Aldi sudah dipindahkan di ruang perawatan kelas tiga. Menurut orang tuanya besuk sudah boleh pulang dan rawat jalan. Sebab luka di lutut dan siku serta pipi kanan-nya bisa diobati sendiri. Tentu saja Olla tak tinggal diam, walau merasa Aldi tak bersalah tapi sisi manusiawinya masih mentolelir dan memberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan. Lantas mereka semua saling bermaafan.

"Urusan selesai ya, Pak, Bu. Kami mohon pamit." Tangan Olla menjabat satu-per satu Ibu, Bapak dan teman-teman Aldi. Diikuti oleh Saqila dan Aldi juga. Mereka melangkah keluar ruangan dan tangan Olla sibuk menelepone taxi.

Sepanjang perjalanan pulang Aldi hanya bergeming, seperti tak terima akan tuduhan yang tadi dilayangkan oleh kedua teman sekolahnya.

"Kamu itu kenapa, Di? Kok masih diem gitu, udah gak bakal Mama aduin sama Papa kok."

"Gak papa, Ma, cuma kesel aja. Tuh temen-temen udah dikasih tahu malah ngeyel. Aldi tuh tahu mereka bakalan jatuh makanya aku suruh hati-hati. 'Kan beneran jatuh, ehh malah nyalahin aku."

"Ya udah yang penting kamu sudah ngejelasin, habis perkara."

"Tapi urusannya belum-" Aldi menghentikan ucapannya.

"Apa? Kamu mau ngomong apa lanjutin." Olla memerhatikan raut wajahnya di cermin compack-nya.

"Hmm ... emak gaul, dalam keadaan sibuk juga sempet gitu ngecek posisi alis. Napa, Neng, takut lutur kena keringat. Hahaha." Tangan usil Saqila sengaja menyentuh alis Olla dengan kasar, lantas memerhatikan jari telunjukkan. "Aman ... sudah nempel tuh, neh kagak ada jejaknya di tangan." Duo heboh tertawa bersama, Aldi bergeming, matanya menyusur sepanjang jalan. Taxi parkir di depan rumah Olla, setelah membayar tarif taxi lantas Olla berjalan mendekati Saqila. Aldi ngeloyor masuk rumah terlebih dahulu.

"Dek, syukurlah satu urusan kelar. Moga ajah tuh emak si siapa temen cewek yang di rumah sakit?"

"Gak tahu, emang kita tadi tanya?" sahut Saqila cepat dengan memainkan alisnya naik-turun. "Kak, aku langsung pamit ajah deh, mau selesaiin PR hehehe."
"Oki-doki, Dedek Cantik, tapi masih kalah cantik ama gue." Olla nyengir kuda. Tangan kreatif Saqila tanggap mencowel pipi Olla lantas berlari menghindari balasan dari Olla.

"See you next, Kak ... coling-coling yeee."

***

Semenjak kedatangannya dari rumah sakit, Aldi mengurung diri di kamar, ia hanya keluar untuk mengambil wudhu dan air minum. Olla sudah menawarinya makan, namun tak ada jawaban. Abrisyam Haris atau yang kerap dipanggil Risyam kakak angkat nomer satu di keluarga Olla mencoba mengecek keberadaan adiknya. Seusai kuliah anak band satu ini masih suka ngisengin adik-adiknya. Apalagi Aldi, yang notabene polos jika sedang kena usil kakaknya. Gitar listrik pemberian Papanya dipegang sembari meluncur ke kamar Aldi. Seperti biasa tanpa salam dan tanpa ketukan pintu asal ngeloyor masuk, terkadang malah menggagetkan adiknya itu dengan suara-suara keras. Namun kali ini Risyam terlihat tenang, tanpa suara. Risyam melihat tubuh Aldi tertutup penuh dengan selimut bulu halus berornamen bendera club sepak bola Arsenal.

"Dek ... bangun, Dek ... makan noh." Risyam membangunkan Aldi dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Namun tak ada jawaban. Tangan Risyam ditempelkan pada kening Aldi. Betapa terkejut mendapati adiknya yang demam tinggi. Kok Mama diam ajah sih, adik sakit gini, batinnya sendiri. Tubuhnya beranjak dari tempat tidur, gitar listrik diletakkan di samping tempat tidur adiknya, lantas bergegas mencari Mamanya untuk memberi tahu.

"Ma ... Mama udah tahu belum sih? Noh Si Aldi sakit, demamnya tinggi lho. Sampai bibirnya pucat," gopoh Risyam pada Mamanya.

"Serius, Sam. Kok Mama gak tahu, pantes ajah Aldi kagak keluar kamar. Ternyata demam, ya udah Mama lihat sekarang."

Mereka bergegas ke kamar Aldi. Waktu telah menunjukkan malam hari tanda-tanda kepulangan suami Olla masih belum terlihat. Juga tak ada kabar seperti biasanya. Namun yang jadi prioritas utama Olla saat ini adalah Aldi.

"Di ... bangun, Sayang. Maem trus minum obat. Biar gak demam terus." Aldi bergeming, matanya menutup dengan kedua tangan mengepal meremas selimut, seperti menahan sesuatu. Mungkin kedinginan setelah demam tinggi, lirih-lirih bibirnya berceracau yang tak dapat didengar. Olla bangkit dan menopang pinggang, menarik napas panjang dan dikeluarkan. "Sam, anter Mama ke dokter, sebelum demam adikmu semakin tinggi." Ibu muda dengan keenergik-an membenahi posisi rambut yang ikatannya melorot. Ya Allah ... kok ada ajah yah. Semoga gak ada apa-apa. Olla ingat sesorean belum mengabari suaminya, entah ada meeting di mana atau janji dengan siapa? Kesibukan rumah menyita perhatian terhadap suaminya. Semoga Papa cepet bales. Wanita seperempat abad itu mengigit bibir bagian bawahnya. Banyak orang menutupi kecemasan dengan menggigit bibir. Please, Pa, angkat dong telponnya. Si Aldi sakit ini.

"Ma ... mobil udah siap, neh. Buruan!"

"Buruan gimana, orang si Aldi ajah kagak bangun gini, yuuk bantu Mama nopang tangannya berdua." Remaja kelas 12 itu memiliki postur lebih berisi ketimbang Risyam kakaknya, sehingga Olla kesusahan untuk menggangkat berdua.

"Dek, bangun ... kasihan Mama sama Kakak lho, berat banget." Tangan Olla yang sudah dibasahi dengan air mengusap wajah Aldi. Remaja dengan kulit cokelat muda tersebut mulai bersuara.

"Ma, sa-kit." Olla tak mendengar jelas namun ia lega sebab Aldi sudah bangun, sehingga bisa sedikit meringankan beban tubuhnya. Perlahan tangan Risyam membopong lengan Aldi di pundaknya sebelah kiri dan didampingi Olla di sebelah kanan. Mereka meluncur ke rumah sakit RSUM, dirasa yang paling cepat penanganannya.

"Ma ... kok diinfus lagi sih, Ma," lirih suara Aldi.

"Gak papa, Sayang. Biar enakan lagi badannya. Cuman sebotol ajah kok, sebab seharian kamu gak keisi makan dan minuman."

"Ma ... Papa suruh pulang. Sekarang, Ma ... sekarang." Remaja tanggung itu kembali memejamkan mata, bibirnya berceracau namun tak terdengar.

"Kamu kenapa, Di? Bukannya yang kecelakaan temanmu? Kok kamu ikutan sakit?"

Plak! Tangan usil Risyam menyentil lengan Aldi. Dengan harapan bisa semangat untuk sehat dan pulang kembali ke rumah.

"Sakit, Kak. Somplak, Loe," Aldi meringis menahan sakit di lengannya.

"Habis loe juga lebay pake' sakit segala." Risyam mencoba memencet hidung adiknya. Saat Risyam memeriksa kondisi badan Aldi  lumayan membaik, demamnya berkurang.

Aldi mulai bersuara, ia menceritakan bahwa sebenarnya ia tengah berkelahi dengan sosok makhluk yang mengganggu Papanya. Sosok serupa manusia yang sangat tinggi dan besar, sekitar dua meter lebih. Menggunakan baju serba hitam rambutnya panjang sebahu dan kusut. Aldi tak tahu apa yang hendak dilakukannya, yang Aldi ingat bahwa jalan menuju arah pulang seakan disamarkan hingga Papanya tersesat jalan. Kemungkinan terparah bisa masuk jurang. Aldi hanya menghalau dengan bahasa yang ia sendiri tak mengerti. Yang ia tahu seperti berucap, "jangan ganggu Papaku". Sosok itu memukul bagian perut Aldi dengan bogemnya.

"Udahlah, Dek, jangan cerita lagi. Mama dengernya serem. Siapa lagi yang ingin mencelakai papamu," Olla setengah tak percaya akan cerita anaknya, "Kamu, gak sedang mengigau lagi, kan?"

Cerita Aldi memang tak begitu saja dipercaya oleh akal manusia, namun keanehan-keanehan yang ditunjukkan sedari kecil membuat apa yang dikisahkan Aldi sedikit percaya. Sekali pun akal sehat kita menolaknya.

Aldi adalah anak pertama laki-laki dari keluarga kakaknya Olla, saat Mama Aldi hamil anak kedua dan Aldi berusia 2 tahun telah menunjukkan sesuatu di batas akal kita. Waktu itu liburan keluarga besar, karena takut merepotkan Mama Aldi yang hamil muda, maka Papanya membawa Aldi yang masih kecil naik ke Gunung Bromo beserta keluarga besarnya. Yang menjadi perhatian berawal dari pemberhentian mobil di batas parkir mobil Gunung Bromo arah ke kawah. Aldi kecil tak mau digendong, terlebih saat berjalan menaiki tangga Kawah Bromo. Tanpa terlihat kelelahan justru ia berlari-lari senang. Jaket dan slayer yang melekat jua minta dicopot. Dalam kondisi dinginnya udara Bromo masih juga berkeringat. Baru saat turun dari kawah ia meminta susu lantas turun seperti orang dewasa lainnya. Fisiknya sangat kuat dan daya ingatnya sangat tanggap, semisal disuruh menunjukkan tempat ia paham melewati mana, dengan bahasa yang cadel.


Pun ketika pemuda tetangganya yang sedang iseng bertanya siapa club sepak bola yang bakal keluar sebagai juara pasti dengan sigap ia menjawab. Padahal tahu apa Aldi kecil dengan club sepak bola, apalagi pertandingan belum dimulai. Semakin lama rumor tentang Aldi kecil semakin menggelitik telingan tetangga yang lain. Saat Aldi kecil bermain dengan asisten rumah tangganya, ada yang bertanya nomer togel berapa yang bakal keluar hari ini. Tak ada tebakannya yang meleset. Kekuatan dan kelebihan Aldi bertahan hingga kelahiran adiknya, semakin tumbuh besar Aldi kecil semakin rapuh. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit, demam tinggi yang tak turun-turun setelah ia memberitahu sesuatu yang besar--entah kematian atau musibah sanak-keluarganya.


Beberapa kali orang tua Aldi mendatangi orang pintar di suatu daerah di Banten, bukan hanya satu orang, ada beberapa padepokan. Namun kekuatan dan kelebihan yang Aldi miliki didapat dari temurun pilihan, ini menurut Mang Agung--guru spiritual yang mengelola padepokan 'Turangga Seta'. "Jika kamu mau anakmu sembuh, pisahkanlah dari bapaknya. Tersebab nanti dikemudian hari justru bapaknya yang kalah." Begitu ucapnya pada Papa Aldi. Dari rapat kecil keluarga akhirnya memilih Olla yang belum memiliki anak kandungm dengan harapan sebagai pancingan. Walaupun di rumah Olla sudah ada Risyam--anak kakaknya Olla nomer satu. Diasuh Olla karena Papa dan Mamanya bercerai. (Bersambung masih dilanjutan BAB 2)


.

Maaf atas keterlambatan memosting, ini saya posting langsung 2000 kata lebih :)

Silahkan diberi kritik dan sarannya.

Maya Madu
22 Maret 2015

Senin, 21 Maret 2016

DIY,Topeng Malangan,Topeng dari Koran,Kreasiku,Maya Madu

DIY TOPENG MALANGAN
TOPENG DARI KORAN
.
Setelah pada repot beli di mana, harga berapa dan kerepotan-kerepotan yang lain. Akhirnya saya sebagai tante yang tak mau kalah dengan ibu-ibu hebat lainnya.  Mencoba berkereasi membuat topeng dari kertas koran, berhasil membuat 4 topeng, menyambut hari kelahiran kota Malang dengan semarak 1000 topeng.
.
CARA MEMBUAT:



BAHAN :

1. Koran
2. Lem rajawali (lem kayu)
3. Cat air (tanpa air) bisa cat minyak
4. Balon
5. Gelang Karet



CARA MEMBUAT
.
1. Tiup balon sebesar kepala, garis tengahnya dengan spidol. Tempel koran yang sudah di robek2 sekitar 5x5 cm dengan lem rajawali. Tempel sekitar 8 atau 10 kali lapisan setelah kering, letuskan balon. Potong sesuai ukuran wajah. Buat bentuk hidung , mata dan bibir.
.
2. Setelah selesai tahap 1 (sudah kering) beri warna dengan cat air (tanpa air untuk hasil yang tajam wananya) keringkan lantas untuk finisihing beri lapisan lem rajawali untuk hasil yang mengkilap.

3. Terakhir beli lubang setara telinga kita dan sisipkan karet gelang.
.


Silahkan mencoba.


Topeng diwarna full hijau baru warna yang lainnya.










CARA MEMBUAT 



TAMBAHAN BUBUR KERTAS UNTUK HIDUNG DAN ALIS.

Lemaskan koran dengan diberi air, lumat-lumat dan peras( hilangkan kadar air) campir dengan lem rajawali. Bentuk hidung dan tempelkan pada topeng.




DILAPISI KERTAS HVS UNTUK WARNA YANG PUTIH , ATAU UNTUK MEMUDAHKAN MEWARNAI.




Senin, 14 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part1),Supranatural,Indigo,Maya Madu

#Tantangan100HariMenulisNovel

No. REG : 36


MATA KETIGA
Penulis : Maya Madu

PROLOG

Ketika ketidakmungkinan di depan mata hanya hati tempat teraman merahasiakannya. Menutupnya tanpa kunci, tanpa pelapis baja sekalipun pasword demi mengamankannya. Terlalu innocene jika hanya diam lantas membias hilang bersama waktu.


Saqila menepis anggapan bahwa apa yang terjadi dalam dirinya karena sebuah kutukan atau karma. Namun ia acuh tak acuh terhadap sesuatu ganjil yang selama ini mengikuti hari-harinya. Yang ia yakin ketika Tuhan sayang pada hambanya lantas menjaganya dengan isyarat yang disebut 'mata hati' beberapa dari mereka menyebutnya 'mata ketiga'. Putaran waktu menjadikan Saqila semakin dewasa, semakin jelas pula perbedaan dan keanehan yang ia telaah sendiri. Gadis 26 tahun dengan rasa percaya tinggi, memiliki style fashion berbusana yang unik, dengan rambut bergelombang sepunggung yang selalu tertutup oleh accesorise rambut. 


Mama Fatma bukan memberikan solusi malah mengganggapnya mengkhayal, sebab Mama Fatma tahu kegemaran anaknya adalah menulis. Sama halnya kedua saudara kandung Saqila mengganggapnya hanya lelucon konyol yang menjadikan bahan tertawaan. Terkucil yah Saqila merasa terkucil ketika keanehan tersebut menyelimuti dirinya. Menangis dan menyendiri menjadi teman setianya. Sampai ia mendapatkan seseorang yang mau dan mampu mendengar dan memberi masukan untuknya.


Olivia Olla, wanita berperangai chubby, dengan berat badan di atas rata-rata perempuan usia 25-an, rambut yang tergerai berwarna dark gold, dan selalu menggunakan jam tangan. Hari-harinya diisi dalam keceriaan, walau terkadang berteman air mata yang datang secara tiba-tiba jika masalah menghadang. Sahabat yang dikenal saat Olla datang ke Kota Malang mengikuti dinas suaminya, hampir lima tahun kebersamaan mereka. Dari sekadar teman jalan dan curhat hingga tahu akan sesuatu yang dikata orang 'aneh'. Dari Olla-lah Saqila berusaha bangkit dan percaya diri, tak ada yang namanya kutukan atau pun karma. Atau malah beberapa teman Saqila mengganggapnya chenayang namun Olla terus saja memompa semangat bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Keadaan anak angkatnya Aldisyah Naufal membuatnya menjadi Big Mama saat bullying teman sekelas mengganggap Aldi anak dukun, Aldi anak titisan dan bermacam-macam olokan yang membuat si anak drop lantas mengucilkan diri. Aldi justru mencari dunianya sendiri, ranah yang menerima keadaannya. 


Pernah Aldi berfikir untuk menutup saja matanya, sehingga ia terhindar oleh apa yang seharusnya tak terlihat. Apa yang menurutnya malah tak terjamah mata telanjang. Namun support keluarga menjadikan Aldi anak yang normal dan mampu bersosialisasi dengan baik. Walau harus dengan pantauan kusus--berbeda dengan dua saudaranya yang lain.

***

BAB 1
JATI DIRI


Perempuan girly dengan dandanan super PD tersebut berjalan menuju loket informasi. Sebab setelah melihat kanan-kiri banyak terdapat bus-bus arah ibu kota, namun ia justru mencari bus jurusan antar kota.

"Pak, arah Blitar dari mana naiknya?" tanya Saqila kepada seorang kondektur bus yang mangkal di terminal. 

Setelah mendapatkan bus yang ia inginkan perlahan kakinya melangkah pada bus yang tak terlalu terawat body-nya. Beberapa pegangan untuk naik telah terkelupas, spion kiri pun telah lepas kacanya, hanya badan spion yang dipertahankan di tempatnya. Namun Saqila yang notabene-nya cuek tak terlalu memedulikan keadaan.


Rok panjang hijau pupus berlempengan manik-manik silver dengan motif gajah khas Thailand berkibar-kibar tertiup angin. Sembari membenarkan letak topi rajut berwarna abu-abu. Padu-padan yang pas dengan atasan kaos polos lengan panjang yang juga berwarna senada dengan roknya.


Mata Saqila tak pernah lepas dengan handpone, ibarat manusia, handpone sudah seperti kekasihnya sebab ke mana dan di mana saja tak pernah ketinggalan.

'Kak, aku udah di bus neh, tau deg-degan banget.' WhatsApp yang terkirim di handpone Olla, beberapa menit ada jawaban dari penerima.

'Ya, iyalah deg-degan karena mo ketemu mas pacar.'

'Ha ... ha ... bisa ajah kamu, tapi ini lain. Semenjak kakiku melangkah di bus ini. Fell-ku saat ngeliat supirnya dah horor.'

'Pasti ganteng yee supirnye, ngaku deh loe. Ha ... ha ... ha ....' Olla seakan mengejek sahabatnya itu.

Jika kita mengekspresikan kekaguman sosok lelaki biasanya mengatakan; cakep, tampan, ganteng maupun lucu. Namun bagi dua heboh ini berbeda ketika kata ganteng menunjukkan sosok lelaki tersebut di bawah garis ketampanan seseorang, tanpa menyinggung perasaan sesiapa pun yang mengetahuinya.

'Dek, loe dah dapet tempat duduk, kan?'

'Ada sih di ujung sebelah kaca di tengah bus, tapi males. Lebih demen berdiri ajah.'

'Ya udah loe jaga diri baek-baek yee, jangan lupa coling-coling gue kalau butuh tips penghangatan ketemu mas pacar. Ha ... ha ... ha ....'

Seakan lupa jika duo heboh sedang bertemu di balik telepon selular, seakan-akan mereka masih bersama seperti hari-hari sebelumnya.

'Kak, semoga gak terjadi apa-apa yah?'

'Iya, Dek, gue selalu doain yang terbaik buat elu.'

Komunikasi mereka berakhir seiring suara lengkingan kondektur bus yang mengabarkan letak-letak pemberhentian; Wlingi-Talun-Garum-Blitar. Isyarat hati Saqila mengatakan bahwa jangan duduk, tetaplah waspada. Jangan tidur tetaplah terjaga. Seperti yang sudah-sudah Saqila setengah mengikuti petunjuk hati, ia memilih untuk berdiri, walau sebenarnya ada tempat duduk sebelah kanan tengah, dalam posisi terhimpit karena sesaknya penumpang Bus Bagong rute Malang-Blitar. Membuat belia ini bersandar pada sandaran bus sambil berdiri. Tangan kirinya tetap mencengkeram sandaran di depannya, hingga ia waspada jika supir bus ngerem mendadak. Antara terjaga dan mengantuk beberapa kali Saqila mencoba melebarkan mata, namun beberapa saat ia tertidur. Terbangun saat supir bus mengerem mendadak. Dalam hati doa dan wirid terus saja dilafazkan, ia yakin tujuan ke Blitar untuk menepis suara hati yang terkadang sulit dimengerti. Suara hati yang melarangnya berhubungan dekat dengan lelaki yang dikenalkan oleh teman sesama penulis, ia kelahiran Bogor Jawa barat. Lelaki yang beberapa bulan dikenalnya, bahkan sang lelaki telah berani mengutarakan diri untuk meminang Saqila. Bukan lantas Saqila menolak tanpa alasan yang jelas, namun misi ke Blitar untuk menepis larangan hati. Sebab ultimatum Mama Fatma bagai diktator yang akan memaksa anaknya menikah dengan pilihannya, jika sampai akhir tahun depan Saqila belum jua memutuskan untuk menikah.


Di saat ia tertidur dalam posisi berdiri, secepat itu pula suara benturan keras terdengar prakkk, lengkingan teriakan beserta tangis seseorang membahana.

"Astagfirullah."

"Ampun Gusti."

Secepat atom Saqila menoleh mencari suara benturan, sebuah kaca bus bagian tengah sebelah kanan diduduki oleh seorang wanita setengah tua, seorang ibu muda menangis memegangi kepala dengan posisi kepala menunduk. Ada bapak-bapak yang memiringkan kepalanya sembari memukul-mukul telingan yang lainnya. Khawatir renik-renik pecahan jendela menyusup di telinga. Bus yang ditumpangi Saqila bertabrakan dengan bus pariwisata di perempatan daerah Wlingi, kepala bus pariwisata tak dapat keluar dari himpitan jendela bus yang ditumpangi Saqila. Dalam kecemasan dan ketakutan Saqila menelepon Olla, ingin mengabarkan bahwa sesuatu yang tadi diberitahu melalui WhatsApp terjadi juga. Apa yang Saqila rasa sebelum naik bus benar terjadi, sebuah kecelakaan saat Saqila tertidur sejenak. Apakah hanya kebetulan, atau kah memang suratan takdir. Wallahu A'lam Bisshowaf. Derai air mata Saqila membanjir, bingung apa yang hendak ia lakukan, melanjutkan perjalanan ke Blitar atau kah justru kembali pulang ke Malang. Waktu menunjukkan pukul 19:00 wib, belum terlalu malam jika hendak kembali pulang. Namun misi awal Saqila hendak ia buktikan, bahwa apa yang sebenarnya dikatakan oleh hati kecilnya harus ada alasan dan bukti kuat.

[Bersambung dulu yahhh, ditunggu masukannya guys.]


Jumlah kata sekitar 1.121.

Tantangan Hari ke-2 dan ke-3

Olla memberi kabar bahwa seseorang telah mengkhawatirkan Saqila di rumah, siapa lagi jika bukan Mama Fatma. Tak ada yang perlu dicemaskan, Dek. Semua ini sudah menjadi takdir Allah. Berfikirlah yang positive maka sugesti dalam dirimu juga berpengaruh positive. Ketakutan dan kecemasan adalah memory yang loe bangun di bawah alam bawah sadar elu, sehingga jadinya seperti apa yang loe pikirkan. Kata-kata Olla terekam dalam ingatan Saqila, bahwa sugesti atas kepercayaan diri dapat meleburkan bisikan hati. Yah kekuatan hati ada dalam diri sehingga Saqila dapat menjalani hari tanpa beban yang begitu meresahkan.

***

Keterlambatan waktu yang telah dijanjikan oleh lelaki yang hendak Saqila temui membuatnya harus merubah sqedule penjemputan. Sebelumnya seperti perjanjian awal mereka bertemu di areal Pemakaman Mantan Presiden RI yang pertama. Namun karena terlambat enam jam dari waktu yang disepakati membuat Saqila harus menunggu sekian lama di sebuah halte di perempatan Talun-Blitar. Avanza putih berkaca reyben menghampiri Saqila lantas dua orang lelaki yang berada di dalam mobil menanyakan namanya. Saqila juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan sebelum ia yakin masuk dan duduk bersama orang yang sama sekali tak dikenalnya. Setelah Saqila mendaratkan pantat pada dudukan Avanza lantas ia mengabarkan pada Alvan Prahara, lelaki yang telah mengusik ketenangan Saqila.

"Udah di mobil neh, A' tungguin ajah yah. Grogi neh."

"Iya, sama Aa' juga deg-degan gak jelas," sambung penerima telepon, "Ya sudah, Dedek matikan telepon yah, hati-hati di jalan."

Mata Saqila menerawang jauh di sudut jendela Avanza, seakan mengukur jalan yang tak tahu akan dibawa ke mana ia. Mengikuti langkah mobil yang dikemudikan dua karib Alvan. Sedikit berbasa-basi untuk mencairkan keadaan yang kikuk. Beberapa kali mereka bertanya seputar kedekatannya dengan Alvan teman kantornya. Namun Saqila lebih banyak tersenyum dan berfikir ia hendak bagaimana jika telah bertemu nanti.


Lelaki berkulit sawo matang dengan potongan rambut cepat, beberapa giginya sedikit tak rata dan menguning, mungkin akibat jejak nikotin yang menjangget. Saqila memerhatikan dengan seksama ketika pertama kali Alvan menjabat tangannya dan tersenyum manis padanya.

"Lebih cantik daripada fotonya," bisik Alvan pada telinga kiri Saqila.

"Gombal mukiyo, pinter ngerayunya." Belia berkaos hijau pupus ini merasa risih terus saja diperhatikan. Pemilik rumah tempat Alvan dan teman kantornya menginap telah menyediakan kamar kusus untuk Saqila. Sebab ia perempuan satu-satunya selain ibu pemilik rumah.

Beberapa teman Alvan menyapa, sekadar menanyakan perjalanan dan kabarnya. Saqila mengatur letak duduk, mengambil nafas perlahan diembuskan teratur. Lantas ia mulai bercerita kepada Alvan dan empat teman lainnya. Saqila menceritakan perihal kecelakaan bus yang ditumpanginya, sehingga datang sangat terlambat pada waktu yang seharusnya.

"Oh kecelakaan Bagong sama pariwisata, kan?" tanya seorang lelaki yang dipanggil Alvan Pak Yanto. Pak Yanto asli Blitar namun bekerja di Jakarta. Sehingga tahu apa yang terjadi, kabar melalui telepon pintar memang lebih cepat dari pada media cetak.

Saqila menggangguk mengiyakan. Berapa lama empat orang teman Alvan termasuk Pak Yanto berpamitan hendak makan malam, sedang Alvan dan Saqila menunggu di rumah beserta Ibunda Pak Yanto dan Ayahnya.

Bale-bale rumah nampak terang oleh penerangan lampu spiral. Kerik jangkring menambah syahdu warna malam. Alvan mendekatkan diri pada Saqila, mereka sudah tak canggung seperti saat bertemu pertama. Perasaan Saqila bercampur-baur; antara rasa suka dan peringatan hati yang membuatnya tak nyaman. Jika rasa tak nyaman itu hadir menyapa, cepat-cepat ditepisnya. Dambaan sesosok calon imam telah di hadapan, hanya tinggal adaptasi dan pembicaraan serius antar keduanya. Sebuah cad burry sebesar setengah buku diserahkan pada Saqila hingga belia yang sedang kasmaran tersebut bungah. Tatapan Alvan tak lekang pada kedua pupil Saqila, perlahan didekatkan arah kepalanya hingga condong berhadapan dengan Saqila. Saqila dapat merasakan hangat embusan napas Alvan.  Rasa penasaran terus menyerang keduanya hingga bibir mereka saling bertautan, tak sampai beberapa menit telah tersadar.

"Maaf, Dek. Aa' cuma-"

Saqila hanya bergeming, menoleh ke kanan sambil menunduk. Sesaat mengambil nafas panjang, "Gak papa kok, A'."

Tingkah kikuk menyerang mereka, namun tak sampai lama sebab kumpulan teman Alvan sudah datang dan menyerahkan dua bungkus sate ayam beserta nasi. Keduanya beranjak dari kursi menuju  ruang makan.

***

Tidur di rumah orang memang berbeda dengan tidur di kamar sendiri. Sama halnya sekarang, baru beberapa jam selalu terjaga untuk membuka mata. Selepas Azan Subuh Saqila tak dapat tertidur lagi, selain merasa sungkan juga menunggu Alvan keluar kamar. Saqila tak tahu di mana letak kamarnya, rumah yang kami tinggali sangat besar, ada empat deret kamar kembar--ornamen pintu kupu tarung kecil dengan warna yang senada peach dan hijau, menambah asri rumah ini.

Saqila terdorong keluar rumah, sebab ada beberapa teman Alvan yang sedang beraktifitas, ada yang memandikan mobil, ada yang sekadar berjalan-jalan. Kabut yang terpulas tipis-tipis bagai kumpulan asap rokok yang terkepung membuat hawa semakin exotic. Hamparan pepohonan hijau tertata rapi, dengan irigasi selokan alami, hanya dengan sebuah kerukan tanah yang terus menerus tertampar air dan mengeras, sehingga memudahkan para pemilik rumah untuk menyiram tumbuhan di sekitar rumah mereka. Letaknya tidak terlalu dalam, namun airnya sangat jernih, mengalir terus tanpa henti. Tatapan Saqila menyorot setiap detail desa ini, dengan kaki telanjang perlahan melangkah pada setiap jalan yang masih alami, bebatuan alam dengan tanah khas makadam masih menjadi jalan utama setiap kendaraan maupun mereka yang melewatinya.

Hamparan warna kuning sejauh mata memandang, unik, langka dan takjub itulah gambaran para petani jagung sedang menjemur jagung-jagung yang sudah dipipil tentunya. Beralas tanah yang telah di semen halus, tanpa alas pelapis lainnya. Berbekal sebuah kayu panjang yang telah dipola dengan ujung-ujung yang memanjang mirip alat pembersih lantai, gunanya untuk meratakan biji-biji jagung yang masih mengumpul. Pemandangan demikian memanjakan mata untuk terus memerhatikan dengan seksama. Setiap lahan seluas 300 m2 hanya dikerjakan satu orang saja.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Neng. Tamunya Pak Yanto, yah?"

"Iya, Blitar dingin yah, Pak, kalau pagi. Tapi seger, hehehe."

"Sejuk, Neng."

"Iya, Pak. Kalau jemur jagung berapa lama, tuh."

"Paling cepet itu dua hari, kalau lagi mendung bisa sampai empat atau lima hari."

"Lama juga yah, Pak. Biasanya untuk apa ajah sih, selain campuran beras jagung?"

"Macem-macem, Neng. Ada yang untuk tepung jagung, beras jagung, kopi atau untuk bibit jagung baru, tapi biasanya dari jenis jagung unggulan."
"Hmm ... macam-macam yah, Pak. Ya sudah saya lanjutkan jalan-jalan lagi, Pak. Mari."

"Injih-injih, Neng, monggo-monggo dinikmati. Hati-hati jangan suka bicara sendiri, Neng. Pamali."

Degh. Jantung Saqila seakan berhenti sejenak, "Apa maksud bapak tadi memberi peringatan demikian? Tapi sudahlah, mungkin supaya aku tidak melamun dan berceracau sendiri."

Kisaran 500 meter berjalan, tiba-tiba Pak Yanto telah memanggil Saqila.

"Neng Qilla, Syaqilla, jangan jauh-jauh mari sarapan dulu."

"Iya, Pak, saya balik bentar lagi."

Terjalnya jalan mengeli-geli telapak kaki Saqila, bagai berjalan di atas di ribuan pasir, namun ini pasir hitam berteman kerikil besar kecil. Udara yang sejuk benar-benar memanjakan pernapasan. Dengan kedua tangan merentang serta menarik dalam-dalam udara yang bersih, lantas mengembuskan nya perlahan. Ada uap tipis yang keluar saat Saqila mengeluarkan udara maupun suara. Dingin, sejuk sangat dirindukan pelukan alam telanjang seperti ini.


*


"Sok, sarapan dulu, Neng. Enak lho, ini pecel asli Blitar, bukan pecel plakat Blitar, hehehe," kekeh Pak Yanto semangat mempromosikan masakan tradisional khas Blitar.

"Iya, Pak. Mau nunggu Aa' ajah, biar sekalian."

"Nanti keburu dingin, Neng. Palingan Si Alvan masih molor, dia 'kan nanti juga nyetir biarin bobok dulu."

Hmm Saqila mendengus sedikit kesal, sebab keinginan bertemu Alvan terganjal oleh dia yang tak jua beranjak dari tempat tidurnya. Di depan Saqila ada seorang bapak-bapak dengan perangai badan yang segar berambut keriting, ia sedang menikmati nasi pecel yang juga dipersiapkan keluarga Pak Yanto.

"Mari, Dek, saya duluan."

"Oh ... I-iya, Pak. Silahkan." Saqila sedikit gugup karena kaget mendengar sapaannya, lamunannya masih melayang akan kebersamaan dengan Alvan semalam. Seakan pagi merenggut segalanya, sebab hari ini Alvan hendak pulang ke Bogor.

Yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir, teh hangat di cangkir keramik putih tinggal setengah gelas, Saqila memutuskan untuk sarapan sendirian. Sebuah nasi pecel yang dibungkus kertas cokelat beralas daun pisang. Dengan komposisi nasi hangat yang lumayan porsi besar untuk ukuran wanita, yang menjadi berbeda dengan pecel Malang adalah jenis sayur-mayur yang disajikan. Daun kenikir, daun singkong, serta batang pakis yang direbus setengah matang. Menjadikan sajian pecel berbeda dengan kotanya, Malang tercinta. Rasanya hampir mirip dengan pecel seperti biasanya, namun aroma daun jeruk yang pekat menambah sedapnya masakan. Juga jenis rempeyek kacang yang dipotong secara vertikal bukan horisontal, membuat cita rasa rempeyek kacang terasa. Kripiknya juga sangat tipis, sehingga saat digigit renyah sekali.

Bep ... bep ... suara nada dering sebuah telepon genggam, ada sekitar enam handpone berjajar rapi di sana, tak digubris oleh Saqila, "Biar saja bukan urusanku," batin Saqila. Namun suara itu tak jua berhenti, malah kali ini semacam nada dering. Saat mata Saqila menyusur meja ternyata handpone Alvan yang berbunyi, terlihat nama yang tertera mungkin Ibunya yang berusaha tanya kabar.


Begh. Handpone Alvan terjatuh dari tangan Sqaqila, seketika dadanya berdegup kencang. Belum dapat berkompromi, kedua tangannya gemetar. Sebuah nama perempuan yang ia hafal siapa dia--Nena, nama mantan kekasih Alvan. Mantan, namun kenapa masih berhubungan? Gejolak tanya berhamburan di kepala Saqila. Ia memberanikan diri membuka notif WhatsApp  walau tak sampai terbaca, hanya dari tampilan atas handpone. Ayah dan Bunda, panggilan mesra mereka. Mengapa masih berhubungan? Mengapa ... ah ... Saqila meletakkan kembali handpone di tempat semula. Ia berlari masuk kamar, air mata tak sanggup lagi tertahan. Rabb inilah kata hati itu, Rabb inilah jawaban itu. Mengapa Aa' begitu tega. Saqila menyeeka air mata, berusaha tegar. Namun ia butuh Olla, walau butuh waktu lama untuk menjawab pesan namun baginya Olla bagai candu yang menenangkan Saqila. Segala amarah dan kekesalan diungkapkan padanya. Benar saja, nasehat Olla selalu menenangkan.

'Dek, sakit hati boleh. Tapi kudu tetep cantik, sebab ke-cantikan itu akan membuat dirimu berbeda di hadapan pecundang.'

Hampir satu jam Saqila berdiam diri di kamar, sampai Alvan datang dan masuk ke kamar. Saqila tahu gelagatnya hendak memeluk dengan posisi tangan yang telah direntangkan hendak merengkuh. "Ogah, ah ... bau. Sono mandi dulu," alibi Saqila pada Alvan. Ia hanya tersenyum lantas keluar menuju kamar mandi. "Alvan Praha lihat siapa yang kau hadapi saat ini. Permainan belum dimulai, jangan salahkan aku yang kau sakiti!" ceracau Saqila berapi-api.


Tas dan beberapa perlengkapan sudah ditenteng, kamar juga telah rapi. Persiapan pulang sudah beres, tinggal menunggu kesiapan teman-teman kantor Alvan sekaligus dirinya. Saqila harus bermain cantik, sebab sebentar lagi perpisahan dengan Alvan

Jumlah kata 1400 (sisanya lupa berapa)

SILAHKAN BERIKAN KOMENTAR KALIAN GUYS, UNTUK KEBAIKAN NASKAH INI.

TERIMA KASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH MELUABGKAN WAKTUNYA UNTUK MEMBACA NASKAH SAYA.

[ Bersambung BAB 2)

Malang, 16 Maret 2016
Maya Madu

Rabu, 28 Oktober 2015

             TIGA PULUH MENIT DI EL KHALIL


Suara hening sepersekian detik namun menggema beberapa waktu, pada sebuah speaker di ruangan ini, "Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka Rehanna Binti Mustafa  Al Muhajir  alal mahri mia Shekel Israel wa dzahab khomtsa gram."[1] Suara lelaki dengan  tegas dan terang tanpa bergetar sedikitpun. Disusul suara berbeda seorang lelaki muda yang sama  tegasnya.


"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq."[2]


"Mabruk ..., mabruk ...." Suara-suara lain bersahutan riuh. Sahabatku Rehanna telah melepas masa lajangnya. Sesenggukan tangis terdengar di kanan dan kiri telinga. Keluarga dan para saudara yang menyaksikan di balik tirai hijau masjid EKhalil. Terpisah beberapa jauh namun masih dalam satu masjid.


"Mabruk ..., mabruk ..., ya Hanna. Barokallahu laka wabaroka alaika,"[3] bisikku ditelinganya sembari mengalungkan pegangan erat sekali. Rehanna sahabatku sangat terlihat cantik, ia menggunakan jalabia panjang berwarna putih, berhijab pashmina bergaris emas. Sebentar lagi acara temu pengantin. Nampak bekas air mata yang belum mengering, di susul kecupan-kecupan para sanak saudaranya.


"Hana zuad ey ..., Menna hasud ey ..., Hanna zuad ey ..., Menna hasud ey ...."[4] Beberapa wanita nampak menyoraki aku. Hanna tersenyum sangat manis sekali. Tibalah waktu mendebarkan ketika pihak pengantin lelaki bertemu dengan pihak pengantin perempuan.


Seorang lelaki jangkung dengan udeng-udeng putih bermahkota bunga melati berjubah putih membuka tirai, diikuti beberapa lelaki lain keluarga mempelai lelaki. "Ibtisam Zahir!"[5] teriak Halati Rodiyah--adik perempuan ibunda Hanna. Tatapan malu-malu Zahir pada pengantin perempuannya.
Buru-buru Hanna melangkah maju dan mengulurkan tangan kanannya hendak menyambut tangan suaminya, Zahir. Dengan tetap tertunduk Hanna mengecup punggung tangan kanan sang suami. Keadaan di masjid E Khalil, Desa Beit Ummar. Sebelah Barat Palestina sangat haru. Kebahagiaan kami di sini ketika menyaksikan pernikahan, kematian dan kelahiran. Ketiga unsur tersebut terus bergulir di setiap hari, setiap waktu yang tak tentu. Tiada pesta meriah seperti negara-negara merdeka lainnya. Namun cukup berkah dengan keridhoan Allah kepada para hambanya. Karena janji Allah itu haq. Kita para hamba Allah penerus pengikat Masjidil Aqsha-Palestina.


Halati Najma menghidangkan poka' sejenis minuman jahe dengan bumbu rempah; kapulaga, kayu manis dan jahe serta daun pandan juga gula pasir. Dan beberapa manisan yang terbuat dari tepung beras berwarna-warni berisi gula aren.


Lantas tiba-tiba suara riuh di luar masjid bersahutan, seperti seorang berteriak-teriak, dengan sangat cepat sebuah dentuman sangat keras menyerang masjid.


"Jaula ..., jaula ...."[6]


Kepanikan menyergap sekeliling kami. Suara tangisan para wanita menambah kekhawatiran keadaan. Masjid E Khalil tempat kami melakukan ritual pernikahan digempur zionis  Israel. Memang menurut undang-undang dunia, dilarang penyerangan pada saat sedang melaksanakan ibadah. Kebetulan penyerangan terjadi sesaat setelah usai shalat Dzuhur. Lebih tepatnya seusai akad nikah.


"Allahhu Akbar. Allahu Akbar."


Suara-suara menyerukan kalam Allah silih berganti di telingaku. Kugenggam erat tangan Hanna juga Ummu Fatma ibunda Hanna. Sedang Zahir pamit ikut berperang bersama para lelaki lain.
Gemulung asap kelabu menyergap ruangan, di sudut depan masjid telah berkobar bara menyala-nyala dengan cepat merambat melalu kayu pelapis daun pintu juga jendela. Berakhir menyambar tabir-tabir pembatas sekat jamaah.


Suara-suara riuh tak terkendali. Tangisan, teriakan tak dapat dihentikan. Namun sebagai penguat juga penenang salah satunya adalah mengajak mereka keluar masjid untuk sekadar bersembunyi, sebelum para iblis berkepala hitam bergerak menggempur masjid ini. 


"Istighfar Ummu Fatma," ucapku sembari terisak gemetar. Perempuan berbergo hitam berpelipit kain emas itu mengangguk. Sedang aku menyuruh Hanna terus bersholawat atas Nabi Muhammad SAW. Dalam hati tiada henti terus berdoa. Diantara Hanna juga saudara yang lain memang akulah yang paling minim masalah dedoa. Sebab aku hidup dan tinggal di Indonesia. Paman Mustafa ayah Hanna adalah saudara jauh ayahku. Tinggal di sini lantaran mengikuti suamiku untuk berjihad. Namun Allah telah memberi kebahagiaan untukku dan suami dengan hadiah kematian, "Ridhollah ya abi, surga dengan berbagai jalan untukmu," bergumamku sendiri. Karena setiap kali serangan para iblis berkepala hitam itu datang, selalu saja air mata ini membanjir.  Mengingat almarhum suamiku yang tenang di alam sana.


Penyerangan sekitar 30 menit dari suara-suara yang menggelegar, juga beberapa lama terjadi baku tembak, sedang untuk kami para wanita hanya berbekal dedoa dan batu-batu kecil dan sedang, yang selalu siap jika terjadi penyerangan secara tiba-tiba.


Terlihat Azam anak Paman Halid tetangga Hanna berlari-lari mendekati, terengah-enggah. Dengan rembasan darah yang masih segar di kedua lutut kakinya. "Allahhu Akbar," teriak kami bersamaan.
Azam menceritakan dengan terbata-bata juga terengah-engah. Seusai ditenangkan oleh Ummu Fatma ia mulai berbicara lebih tenang dan jelas, namun tangisnya tak dapat dicegah.
"Innalillahi wainnailahi rojiun. Allahu Akbar," teriakan Rehanna melengking seiring robohnya tubuh yang tak sempat ditopang siapa-siapa. 


Kebahagiaan yang terjadi beberapa jam yang lalu bergulir kesedihan yang mendalam. Belum juga sempat menjumpai malam seribu malaikat, di mana para malaikat mengamini sepasang halal untuk mengecup indahnya malam pertama. Belum jua merasakan bakti seorang istri kepada suami namun Hanna telah berpredikat 'janda'. "Astaghfirullah haladzim , astaghfirullah haladzim, ikhlaskan hati sahabatku ini ya Rabb, semoga keikhlasan bernaung pada keluarga yang ditinggalkan. Aamiin," panjatan doaku sendiri, sembari mengangkat tubuh Hanna yang ditemani Ummu Fatma. Di sana telah berkumpul juga beberapa sanak saudara yang tadi hadir di acara walimatul ursy Rehanna dan Zahir.
Senja berkabung seperti kegelapan awan yang bernaung. Jenazah Zahir Bin Ali Al Zaidi telah terbungkus rapi oleh kafan. Diletakan pada rumah besar keluarga Mujahir. Banjir tangis kedua keluarga tak dapat terbendung lagi. Beberapa peluru bersarang di dada dan perut Zahir. Membuatnya wafat dalam pertempuran sebentar tadi. Bibirnya tersenyum seakan menunjukkan istirahat dalam kebahagiaan panjang. Menjadi seorang mujahid sejati. 


Lengan Hanna di papah olehku dan Halati Rodiyah untuk menyaksikan jenazah suaminya sebelum dimakamkan. "Firdaus Ya Rabb, Firdaus ..., Allahhu Akbar,"[7] ucap Hanna di depan jenazah suaminya. Remasan tangannya kurasa mengendur dan Hanna kembali pingsan.


"Innalillah, Hanna," teriak Halati Rodiyah. Secepatnya dibantu paman Thalib dan beberapa saudara, Hanna diangkat dan ditidurkan di kamarnya.


"Allahumma Sholli Alla Muhammad," seru seorang lelaki berjanggut putih berkopyah rajut putih. Diiringi jawaban para kerabat yang hadir di rumah Hanna, "Allahumma Sholli Wasalim Wabarik Alaih."



Diangkatlah jenazah Zahir dengan iring-iringan roda manusia mengantarkan kepergiannya ke pemakaman umum Desa Beit Umar. Ummu Fatma meneriakkan sesuatu yang membuat hatiku semakin trenyuh. "Istirahat yang tenang anakku. Lebih baik merasakan panas bom di dunia dari pada panasnya api neraka. Allah Ya'fat." Tangisku tak dapat terbendung lagi beriring sesenggukan yang terdengar lirih. Selamat jalan tentara Allah, harummu selalu di kenang. Fi Inshaa Allah, lirih suara hatiku.


KHALAS.

Catatan Kaki
1. “Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Rehanna Binti Mustafa Al Muhajir dengan mahar 100 Shekel Israel dan emas seberat lima gram.”
* Shekel jenis mata uang Palestina setara dengan 3200 uang rupiah Indonesia. Ada 3 jenis mata uang di Palestina; Pound Mesir, Dollar AS, dan Shekel Israel.
2. “Aku terima pernikahan dan perkawinannya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah."
3. "Selamat ..., selamat Hanna. Semoga keberkahan dan kebahagiaan melimpah padamu.
4. "Hanna nikah ey ... Menna iri ey ... Hanna nikah ey ... Menna iri ey ...."
5. "Senyum Zahir."
6. "Lari ..., lari ...."
7. "Surga Firdaus Ya Rabbi ..., surga Firdaus ..., Allahu Maha Besar."

Malang, 7 Januari 2015

[Pernah dipublikasi di www dot islampos dot com]