Rabu, 28 Oktober 2015

             TIGA PULUH MENIT DI EL KHALIL


Suara hening sepersekian detik namun menggema beberapa waktu, pada sebuah speaker di ruangan ini, "Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka Rehanna Binti Mustafa  Al Muhajir  alal mahri mia Shekel Israel wa dzahab khomtsa gram."[1] Suara lelaki dengan  tegas dan terang tanpa bergetar sedikitpun. Disusul suara berbeda seorang lelaki muda yang sama  tegasnya.


"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq."[2]


"Mabruk ..., mabruk ...." Suara-suara lain bersahutan riuh. Sahabatku Rehanna telah melepas masa lajangnya. Sesenggukan tangis terdengar di kanan dan kiri telinga. Keluarga dan para saudara yang menyaksikan di balik tirai hijau masjid EKhalil. Terpisah beberapa jauh namun masih dalam satu masjid.


"Mabruk ..., mabruk ..., ya Hanna. Barokallahu laka wabaroka alaika,"[3] bisikku ditelinganya sembari mengalungkan pegangan erat sekali. Rehanna sahabatku sangat terlihat cantik, ia menggunakan jalabia panjang berwarna putih, berhijab pashmina bergaris emas. Sebentar lagi acara temu pengantin. Nampak bekas air mata yang belum mengering, di susul kecupan-kecupan para sanak saudaranya.


"Hana zuad ey ..., Menna hasud ey ..., Hanna zuad ey ..., Menna hasud ey ...."[4] Beberapa wanita nampak menyoraki aku. Hanna tersenyum sangat manis sekali. Tibalah waktu mendebarkan ketika pihak pengantin lelaki bertemu dengan pihak pengantin perempuan.


Seorang lelaki jangkung dengan udeng-udeng putih bermahkota bunga melati berjubah putih membuka tirai, diikuti beberapa lelaki lain keluarga mempelai lelaki. "Ibtisam Zahir!"[5] teriak Halati Rodiyah--adik perempuan ibunda Hanna. Tatapan malu-malu Zahir pada pengantin perempuannya.
Buru-buru Hanna melangkah maju dan mengulurkan tangan kanannya hendak menyambut tangan suaminya, Zahir. Dengan tetap tertunduk Hanna mengecup punggung tangan kanan sang suami. Keadaan di masjid E Khalil, Desa Beit Ummar. Sebelah Barat Palestina sangat haru. Kebahagiaan kami di sini ketika menyaksikan pernikahan, kematian dan kelahiran. Ketiga unsur tersebut terus bergulir di setiap hari, setiap waktu yang tak tentu. Tiada pesta meriah seperti negara-negara merdeka lainnya. Namun cukup berkah dengan keridhoan Allah kepada para hambanya. Karena janji Allah itu haq. Kita para hamba Allah penerus pengikat Masjidil Aqsha-Palestina.


Halati Najma menghidangkan poka' sejenis minuman jahe dengan bumbu rempah; kapulaga, kayu manis dan jahe serta daun pandan juga gula pasir. Dan beberapa manisan yang terbuat dari tepung beras berwarna-warni berisi gula aren.


Lantas tiba-tiba suara riuh di luar masjid bersahutan, seperti seorang berteriak-teriak, dengan sangat cepat sebuah dentuman sangat keras menyerang masjid.


"Jaula ..., jaula ...."[6]


Kepanikan menyergap sekeliling kami. Suara tangisan para wanita menambah kekhawatiran keadaan. Masjid E Khalil tempat kami melakukan ritual pernikahan digempur zionis  Israel. Memang menurut undang-undang dunia, dilarang penyerangan pada saat sedang melaksanakan ibadah. Kebetulan penyerangan terjadi sesaat setelah usai shalat Dzuhur. Lebih tepatnya seusai akad nikah.


"Allahhu Akbar. Allahu Akbar."


Suara-suara menyerukan kalam Allah silih berganti di telingaku. Kugenggam erat tangan Hanna juga Ummu Fatma ibunda Hanna. Sedang Zahir pamit ikut berperang bersama para lelaki lain.
Gemulung asap kelabu menyergap ruangan, di sudut depan masjid telah berkobar bara menyala-nyala dengan cepat merambat melalu kayu pelapis daun pintu juga jendela. Berakhir menyambar tabir-tabir pembatas sekat jamaah.


Suara-suara riuh tak terkendali. Tangisan, teriakan tak dapat dihentikan. Namun sebagai penguat juga penenang salah satunya adalah mengajak mereka keluar masjid untuk sekadar bersembunyi, sebelum para iblis berkepala hitam bergerak menggempur masjid ini. 


"Istighfar Ummu Fatma," ucapku sembari terisak gemetar. Perempuan berbergo hitam berpelipit kain emas itu mengangguk. Sedang aku menyuruh Hanna terus bersholawat atas Nabi Muhammad SAW. Dalam hati tiada henti terus berdoa. Diantara Hanna juga saudara yang lain memang akulah yang paling minim masalah dedoa. Sebab aku hidup dan tinggal di Indonesia. Paman Mustafa ayah Hanna adalah saudara jauh ayahku. Tinggal di sini lantaran mengikuti suamiku untuk berjihad. Namun Allah telah memberi kebahagiaan untukku dan suami dengan hadiah kematian, "Ridhollah ya abi, surga dengan berbagai jalan untukmu," bergumamku sendiri. Karena setiap kali serangan para iblis berkepala hitam itu datang, selalu saja air mata ini membanjir.  Mengingat almarhum suamiku yang tenang di alam sana.


Penyerangan sekitar 30 menit dari suara-suara yang menggelegar, juga beberapa lama terjadi baku tembak, sedang untuk kami para wanita hanya berbekal dedoa dan batu-batu kecil dan sedang, yang selalu siap jika terjadi penyerangan secara tiba-tiba.


Terlihat Azam anak Paman Halid tetangga Hanna berlari-lari mendekati, terengah-enggah. Dengan rembasan darah yang masih segar di kedua lutut kakinya. "Allahhu Akbar," teriak kami bersamaan.
Azam menceritakan dengan terbata-bata juga terengah-engah. Seusai ditenangkan oleh Ummu Fatma ia mulai berbicara lebih tenang dan jelas, namun tangisnya tak dapat dicegah.
"Innalillahi wainnailahi rojiun. Allahu Akbar," teriakan Rehanna melengking seiring robohnya tubuh yang tak sempat ditopang siapa-siapa. 


Kebahagiaan yang terjadi beberapa jam yang lalu bergulir kesedihan yang mendalam. Belum juga sempat menjumpai malam seribu malaikat, di mana para malaikat mengamini sepasang halal untuk mengecup indahnya malam pertama. Belum jua merasakan bakti seorang istri kepada suami namun Hanna telah berpredikat 'janda'. "Astaghfirullah haladzim , astaghfirullah haladzim, ikhlaskan hati sahabatku ini ya Rabb, semoga keikhlasan bernaung pada keluarga yang ditinggalkan. Aamiin," panjatan doaku sendiri, sembari mengangkat tubuh Hanna yang ditemani Ummu Fatma. Di sana telah berkumpul juga beberapa sanak saudara yang tadi hadir di acara walimatul ursy Rehanna dan Zahir.
Senja berkabung seperti kegelapan awan yang bernaung. Jenazah Zahir Bin Ali Al Zaidi telah terbungkus rapi oleh kafan. Diletakan pada rumah besar keluarga Mujahir. Banjir tangis kedua keluarga tak dapat terbendung lagi. Beberapa peluru bersarang di dada dan perut Zahir. Membuatnya wafat dalam pertempuran sebentar tadi. Bibirnya tersenyum seakan menunjukkan istirahat dalam kebahagiaan panjang. Menjadi seorang mujahid sejati. 


Lengan Hanna di papah olehku dan Halati Rodiyah untuk menyaksikan jenazah suaminya sebelum dimakamkan. "Firdaus Ya Rabb, Firdaus ..., Allahhu Akbar,"[7] ucap Hanna di depan jenazah suaminya. Remasan tangannya kurasa mengendur dan Hanna kembali pingsan.


"Innalillah, Hanna," teriak Halati Rodiyah. Secepatnya dibantu paman Thalib dan beberapa saudara, Hanna diangkat dan ditidurkan di kamarnya.


"Allahumma Sholli Alla Muhammad," seru seorang lelaki berjanggut putih berkopyah rajut putih. Diiringi jawaban para kerabat yang hadir di rumah Hanna, "Allahumma Sholli Wasalim Wabarik Alaih."



Diangkatlah jenazah Zahir dengan iring-iringan roda manusia mengantarkan kepergiannya ke pemakaman umum Desa Beit Umar. Ummu Fatma meneriakkan sesuatu yang membuat hatiku semakin trenyuh. "Istirahat yang tenang anakku. Lebih baik merasakan panas bom di dunia dari pada panasnya api neraka. Allah Ya'fat." Tangisku tak dapat terbendung lagi beriring sesenggukan yang terdengar lirih. Selamat jalan tentara Allah, harummu selalu di kenang. Fi Inshaa Allah, lirih suara hatiku.


KHALAS.

Catatan Kaki
1. “Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Rehanna Binti Mustafa Al Muhajir dengan mahar 100 Shekel Israel dan emas seberat lima gram.”
* Shekel jenis mata uang Palestina setara dengan 3200 uang rupiah Indonesia. Ada 3 jenis mata uang di Palestina; Pound Mesir, Dollar AS, dan Shekel Israel.
2. “Aku terima pernikahan dan perkawinannya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah."
3. "Selamat ..., selamat Hanna. Semoga keberkahan dan kebahagiaan melimpah padamu.
4. "Hanna nikah ey ... Menna iri ey ... Hanna nikah ey ... Menna iri ey ...."
5. "Senyum Zahir."
6. "Lari ..., lari ...."
7. "Surga Firdaus Ya Rabbi ..., surga Firdaus ..., Allahu Maha Besar."

Malang, 7 Januari 2015

[Pernah dipublikasi di www dot islampos dot com]

6 komentar:

  1. Sedang terlambat jaringan Um, kudu buka via kompi. Kalau android sedang error, entah kenapa. Thx mampirnya :)

    BalasHapus
  2. Suka me ceritanya, walau masih banyak typo. ^^.

    Belajar terus, ya? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih masukannya kak Anisa, typo yang di mana yah? #SambilMelototinLagi

      Hapus
  3. Kapan nyusul Hanna ijab kabul? #eehh :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiien doain yah Non, semoga segera menyusul :)

      Hapus