Senin, 14 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part1),Supranatural,Indigo,Maya Madu

#Tantangan100HariMenulisNovel

No. REG : 36


MATA KETIGA
Penulis : Maya Madu

PROLOG

Ketika ketidakmungkinan di depan mata hanya hati tempat teraman merahasiakannya. Menutupnya tanpa kunci, tanpa pelapis baja sekalipun pasword demi mengamankannya. Terlalu innocene jika hanya diam lantas membias hilang bersama waktu.


Saqila menepis anggapan bahwa apa yang terjadi dalam dirinya karena sebuah kutukan atau karma. Namun ia acuh tak acuh terhadap sesuatu ganjil yang selama ini mengikuti hari-harinya. Yang ia yakin ketika Tuhan sayang pada hambanya lantas menjaganya dengan isyarat yang disebut 'mata hati' beberapa dari mereka menyebutnya 'mata ketiga'. Putaran waktu menjadikan Saqila semakin dewasa, semakin jelas pula perbedaan dan keanehan yang ia telaah sendiri. Gadis 26 tahun dengan rasa percaya tinggi, memiliki style fashion berbusana yang unik, dengan rambut bergelombang sepunggung yang selalu tertutup oleh accesorise rambut. 


Mama Fatma bukan memberikan solusi malah mengganggapnya mengkhayal, sebab Mama Fatma tahu kegemaran anaknya adalah menulis. Sama halnya kedua saudara kandung Saqila mengganggapnya hanya lelucon konyol yang menjadikan bahan tertawaan. Terkucil yah Saqila merasa terkucil ketika keanehan tersebut menyelimuti dirinya. Menangis dan menyendiri menjadi teman setianya. Sampai ia mendapatkan seseorang yang mau dan mampu mendengar dan memberi masukan untuknya.


Olivia Olla, wanita berperangai chubby, dengan berat badan di atas rata-rata perempuan usia 25-an, rambut yang tergerai berwarna dark gold, dan selalu menggunakan jam tangan. Hari-harinya diisi dalam keceriaan, walau terkadang berteman air mata yang datang secara tiba-tiba jika masalah menghadang. Sahabat yang dikenal saat Olla datang ke Kota Malang mengikuti dinas suaminya, hampir lima tahun kebersamaan mereka. Dari sekadar teman jalan dan curhat hingga tahu akan sesuatu yang dikata orang 'aneh'. Dari Olla-lah Saqila berusaha bangkit dan percaya diri, tak ada yang namanya kutukan atau pun karma. Atau malah beberapa teman Saqila mengganggapnya chenayang namun Olla terus saja memompa semangat bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Keadaan anak angkatnya Aldisyah Naufal membuatnya menjadi Big Mama saat bullying teman sekelas mengganggap Aldi anak dukun, Aldi anak titisan dan bermacam-macam olokan yang membuat si anak drop lantas mengucilkan diri. Aldi justru mencari dunianya sendiri, ranah yang menerima keadaannya. 


Pernah Aldi berfikir untuk menutup saja matanya, sehingga ia terhindar oleh apa yang seharusnya tak terlihat. Apa yang menurutnya malah tak terjamah mata telanjang. Namun support keluarga menjadikan Aldi anak yang normal dan mampu bersosialisasi dengan baik. Walau harus dengan pantauan kusus--berbeda dengan dua saudaranya yang lain.

***

BAB 1
JATI DIRI


Perempuan girly dengan dandanan super PD tersebut berjalan menuju loket informasi. Sebab setelah melihat kanan-kiri banyak terdapat bus-bus arah ibu kota, namun ia justru mencari bus jurusan antar kota.

"Pak, arah Blitar dari mana naiknya?" tanya Saqila kepada seorang kondektur bus yang mangkal di terminal. 

Setelah mendapatkan bus yang ia inginkan perlahan kakinya melangkah pada bus yang tak terlalu terawat body-nya. Beberapa pegangan untuk naik telah terkelupas, spion kiri pun telah lepas kacanya, hanya badan spion yang dipertahankan di tempatnya. Namun Saqila yang notabene-nya cuek tak terlalu memedulikan keadaan.


Rok panjang hijau pupus berlempengan manik-manik silver dengan motif gajah khas Thailand berkibar-kibar tertiup angin. Sembari membenarkan letak topi rajut berwarna abu-abu. Padu-padan yang pas dengan atasan kaos polos lengan panjang yang juga berwarna senada dengan roknya.


Mata Saqila tak pernah lepas dengan handpone, ibarat manusia, handpone sudah seperti kekasihnya sebab ke mana dan di mana saja tak pernah ketinggalan.

'Kak, aku udah di bus neh, tau deg-degan banget.' WhatsApp yang terkirim di handpone Olla, beberapa menit ada jawaban dari penerima.

'Ya, iyalah deg-degan karena mo ketemu mas pacar.'

'Ha ... ha ... bisa ajah kamu, tapi ini lain. Semenjak kakiku melangkah di bus ini. Fell-ku saat ngeliat supirnya dah horor.'

'Pasti ganteng yee supirnye, ngaku deh loe. Ha ... ha ... ha ....' Olla seakan mengejek sahabatnya itu.

Jika kita mengekspresikan kekaguman sosok lelaki biasanya mengatakan; cakep, tampan, ganteng maupun lucu. Namun bagi dua heboh ini berbeda ketika kata ganteng menunjukkan sosok lelaki tersebut di bawah garis ketampanan seseorang, tanpa menyinggung perasaan sesiapa pun yang mengetahuinya.

'Dek, loe dah dapet tempat duduk, kan?'

'Ada sih di ujung sebelah kaca di tengah bus, tapi males. Lebih demen berdiri ajah.'

'Ya udah loe jaga diri baek-baek yee, jangan lupa coling-coling gue kalau butuh tips penghangatan ketemu mas pacar. Ha ... ha ... ha ....'

Seakan lupa jika duo heboh sedang bertemu di balik telepon selular, seakan-akan mereka masih bersama seperti hari-hari sebelumnya.

'Kak, semoga gak terjadi apa-apa yah?'

'Iya, Dek, gue selalu doain yang terbaik buat elu.'

Komunikasi mereka berakhir seiring suara lengkingan kondektur bus yang mengabarkan letak-letak pemberhentian; Wlingi-Talun-Garum-Blitar. Isyarat hati Saqila mengatakan bahwa jangan duduk, tetaplah waspada. Jangan tidur tetaplah terjaga. Seperti yang sudah-sudah Saqila setengah mengikuti petunjuk hati, ia memilih untuk berdiri, walau sebenarnya ada tempat duduk sebelah kanan tengah, dalam posisi terhimpit karena sesaknya penumpang Bus Bagong rute Malang-Blitar. Membuat belia ini bersandar pada sandaran bus sambil berdiri. Tangan kirinya tetap mencengkeram sandaran di depannya, hingga ia waspada jika supir bus ngerem mendadak. Antara terjaga dan mengantuk beberapa kali Saqila mencoba melebarkan mata, namun beberapa saat ia tertidur. Terbangun saat supir bus mengerem mendadak. Dalam hati doa dan wirid terus saja dilafazkan, ia yakin tujuan ke Blitar untuk menepis suara hati yang terkadang sulit dimengerti. Suara hati yang melarangnya berhubungan dekat dengan lelaki yang dikenalkan oleh teman sesama penulis, ia kelahiran Bogor Jawa barat. Lelaki yang beberapa bulan dikenalnya, bahkan sang lelaki telah berani mengutarakan diri untuk meminang Saqila. Bukan lantas Saqila menolak tanpa alasan yang jelas, namun misi ke Blitar untuk menepis larangan hati. Sebab ultimatum Mama Fatma bagai diktator yang akan memaksa anaknya menikah dengan pilihannya, jika sampai akhir tahun depan Saqila belum jua memutuskan untuk menikah.


Di saat ia tertidur dalam posisi berdiri, secepat itu pula suara benturan keras terdengar prakkk, lengkingan teriakan beserta tangis seseorang membahana.

"Astagfirullah."

"Ampun Gusti."

Secepat atom Saqila menoleh mencari suara benturan, sebuah kaca bus bagian tengah sebelah kanan diduduki oleh seorang wanita setengah tua, seorang ibu muda menangis memegangi kepala dengan posisi kepala menunduk. Ada bapak-bapak yang memiringkan kepalanya sembari memukul-mukul telingan yang lainnya. Khawatir renik-renik pecahan jendela menyusup di telinga. Bus yang ditumpangi Saqila bertabrakan dengan bus pariwisata di perempatan daerah Wlingi, kepala bus pariwisata tak dapat keluar dari himpitan jendela bus yang ditumpangi Saqila. Dalam kecemasan dan ketakutan Saqila menelepon Olla, ingin mengabarkan bahwa sesuatu yang tadi diberitahu melalui WhatsApp terjadi juga. Apa yang Saqila rasa sebelum naik bus benar terjadi, sebuah kecelakaan saat Saqila tertidur sejenak. Apakah hanya kebetulan, atau kah memang suratan takdir. Wallahu A'lam Bisshowaf. Derai air mata Saqila membanjir, bingung apa yang hendak ia lakukan, melanjutkan perjalanan ke Blitar atau kah justru kembali pulang ke Malang. Waktu menunjukkan pukul 19:00 wib, belum terlalu malam jika hendak kembali pulang. Namun misi awal Saqila hendak ia buktikan, bahwa apa yang sebenarnya dikatakan oleh hati kecilnya harus ada alasan dan bukti kuat.

[Bersambung dulu yahhh, ditunggu masukannya guys.]


Jumlah kata sekitar 1.121.

Tantangan Hari ke-2 dan ke-3

Olla memberi kabar bahwa seseorang telah mengkhawatirkan Saqila di rumah, siapa lagi jika bukan Mama Fatma. Tak ada yang perlu dicemaskan, Dek. Semua ini sudah menjadi takdir Allah. Berfikirlah yang positive maka sugesti dalam dirimu juga berpengaruh positive. Ketakutan dan kecemasan adalah memory yang loe bangun di bawah alam bawah sadar elu, sehingga jadinya seperti apa yang loe pikirkan. Kata-kata Olla terekam dalam ingatan Saqila, bahwa sugesti atas kepercayaan diri dapat meleburkan bisikan hati. Yah kekuatan hati ada dalam diri sehingga Saqila dapat menjalani hari tanpa beban yang begitu meresahkan.

***

Keterlambatan waktu yang telah dijanjikan oleh lelaki yang hendak Saqila temui membuatnya harus merubah sqedule penjemputan. Sebelumnya seperti perjanjian awal mereka bertemu di areal Pemakaman Mantan Presiden RI yang pertama. Namun karena terlambat enam jam dari waktu yang disepakati membuat Saqila harus menunggu sekian lama di sebuah halte di perempatan Talun-Blitar. Avanza putih berkaca reyben menghampiri Saqila lantas dua orang lelaki yang berada di dalam mobil menanyakan namanya. Saqila juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan sebelum ia yakin masuk dan duduk bersama orang yang sama sekali tak dikenalnya. Setelah Saqila mendaratkan pantat pada dudukan Avanza lantas ia mengabarkan pada Alvan Prahara, lelaki yang telah mengusik ketenangan Saqila.

"Udah di mobil neh, A' tungguin ajah yah. Grogi neh."

"Iya, sama Aa' juga deg-degan gak jelas," sambung penerima telepon, "Ya sudah, Dedek matikan telepon yah, hati-hati di jalan."

Mata Saqila menerawang jauh di sudut jendela Avanza, seakan mengukur jalan yang tak tahu akan dibawa ke mana ia. Mengikuti langkah mobil yang dikemudikan dua karib Alvan. Sedikit berbasa-basi untuk mencairkan keadaan yang kikuk. Beberapa kali mereka bertanya seputar kedekatannya dengan Alvan teman kantornya. Namun Saqila lebih banyak tersenyum dan berfikir ia hendak bagaimana jika telah bertemu nanti.


Lelaki berkulit sawo matang dengan potongan rambut cepat, beberapa giginya sedikit tak rata dan menguning, mungkin akibat jejak nikotin yang menjangget. Saqila memerhatikan dengan seksama ketika pertama kali Alvan menjabat tangannya dan tersenyum manis padanya.

"Lebih cantik daripada fotonya," bisik Alvan pada telinga kiri Saqila.

"Gombal mukiyo, pinter ngerayunya." Belia berkaos hijau pupus ini merasa risih terus saja diperhatikan. Pemilik rumah tempat Alvan dan teman kantornya menginap telah menyediakan kamar kusus untuk Saqila. Sebab ia perempuan satu-satunya selain ibu pemilik rumah.

Beberapa teman Alvan menyapa, sekadar menanyakan perjalanan dan kabarnya. Saqila mengatur letak duduk, mengambil nafas perlahan diembuskan teratur. Lantas ia mulai bercerita kepada Alvan dan empat teman lainnya. Saqila menceritakan perihal kecelakaan bus yang ditumpanginya, sehingga datang sangat terlambat pada waktu yang seharusnya.

"Oh kecelakaan Bagong sama pariwisata, kan?" tanya seorang lelaki yang dipanggil Alvan Pak Yanto. Pak Yanto asli Blitar namun bekerja di Jakarta. Sehingga tahu apa yang terjadi, kabar melalui telepon pintar memang lebih cepat dari pada media cetak.

Saqila menggangguk mengiyakan. Berapa lama empat orang teman Alvan termasuk Pak Yanto berpamitan hendak makan malam, sedang Alvan dan Saqila menunggu di rumah beserta Ibunda Pak Yanto dan Ayahnya.

Bale-bale rumah nampak terang oleh penerangan lampu spiral. Kerik jangkring menambah syahdu warna malam. Alvan mendekatkan diri pada Saqila, mereka sudah tak canggung seperti saat bertemu pertama. Perasaan Saqila bercampur-baur; antara rasa suka dan peringatan hati yang membuatnya tak nyaman. Jika rasa tak nyaman itu hadir menyapa, cepat-cepat ditepisnya. Dambaan sesosok calon imam telah di hadapan, hanya tinggal adaptasi dan pembicaraan serius antar keduanya. Sebuah cad burry sebesar setengah buku diserahkan pada Saqila hingga belia yang sedang kasmaran tersebut bungah. Tatapan Alvan tak lekang pada kedua pupil Saqila, perlahan didekatkan arah kepalanya hingga condong berhadapan dengan Saqila. Saqila dapat merasakan hangat embusan napas Alvan.  Rasa penasaran terus menyerang keduanya hingga bibir mereka saling bertautan, tak sampai beberapa menit telah tersadar.

"Maaf, Dek. Aa' cuma-"

Saqila hanya bergeming, menoleh ke kanan sambil menunduk. Sesaat mengambil nafas panjang, "Gak papa kok, A'."

Tingkah kikuk menyerang mereka, namun tak sampai lama sebab kumpulan teman Alvan sudah datang dan menyerahkan dua bungkus sate ayam beserta nasi. Keduanya beranjak dari kursi menuju  ruang makan.

***

Tidur di rumah orang memang berbeda dengan tidur di kamar sendiri. Sama halnya sekarang, baru beberapa jam selalu terjaga untuk membuka mata. Selepas Azan Subuh Saqila tak dapat tertidur lagi, selain merasa sungkan juga menunggu Alvan keluar kamar. Saqila tak tahu di mana letak kamarnya, rumah yang kami tinggali sangat besar, ada empat deret kamar kembar--ornamen pintu kupu tarung kecil dengan warna yang senada peach dan hijau, menambah asri rumah ini.

Saqila terdorong keluar rumah, sebab ada beberapa teman Alvan yang sedang beraktifitas, ada yang memandikan mobil, ada yang sekadar berjalan-jalan. Kabut yang terpulas tipis-tipis bagai kumpulan asap rokok yang terkepung membuat hawa semakin exotic. Hamparan pepohonan hijau tertata rapi, dengan irigasi selokan alami, hanya dengan sebuah kerukan tanah yang terus menerus tertampar air dan mengeras, sehingga memudahkan para pemilik rumah untuk menyiram tumbuhan di sekitar rumah mereka. Letaknya tidak terlalu dalam, namun airnya sangat jernih, mengalir terus tanpa henti. Tatapan Saqila menyorot setiap detail desa ini, dengan kaki telanjang perlahan melangkah pada setiap jalan yang masih alami, bebatuan alam dengan tanah khas makadam masih menjadi jalan utama setiap kendaraan maupun mereka yang melewatinya.

Hamparan warna kuning sejauh mata memandang, unik, langka dan takjub itulah gambaran para petani jagung sedang menjemur jagung-jagung yang sudah dipipil tentunya. Beralas tanah yang telah di semen halus, tanpa alas pelapis lainnya. Berbekal sebuah kayu panjang yang telah dipola dengan ujung-ujung yang memanjang mirip alat pembersih lantai, gunanya untuk meratakan biji-biji jagung yang masih mengumpul. Pemandangan demikian memanjakan mata untuk terus memerhatikan dengan seksama. Setiap lahan seluas 300 m2 hanya dikerjakan satu orang saja.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Neng. Tamunya Pak Yanto, yah?"

"Iya, Blitar dingin yah, Pak, kalau pagi. Tapi seger, hehehe."

"Sejuk, Neng."

"Iya, Pak. Kalau jemur jagung berapa lama, tuh."

"Paling cepet itu dua hari, kalau lagi mendung bisa sampai empat atau lima hari."

"Lama juga yah, Pak. Biasanya untuk apa ajah sih, selain campuran beras jagung?"

"Macem-macem, Neng. Ada yang untuk tepung jagung, beras jagung, kopi atau untuk bibit jagung baru, tapi biasanya dari jenis jagung unggulan."
"Hmm ... macam-macam yah, Pak. Ya sudah saya lanjutkan jalan-jalan lagi, Pak. Mari."

"Injih-injih, Neng, monggo-monggo dinikmati. Hati-hati jangan suka bicara sendiri, Neng. Pamali."

Degh. Jantung Saqila seakan berhenti sejenak, "Apa maksud bapak tadi memberi peringatan demikian? Tapi sudahlah, mungkin supaya aku tidak melamun dan berceracau sendiri."

Kisaran 500 meter berjalan, tiba-tiba Pak Yanto telah memanggil Saqila.

"Neng Qilla, Syaqilla, jangan jauh-jauh mari sarapan dulu."

"Iya, Pak, saya balik bentar lagi."

Terjalnya jalan mengeli-geli telapak kaki Saqila, bagai berjalan di atas di ribuan pasir, namun ini pasir hitam berteman kerikil besar kecil. Udara yang sejuk benar-benar memanjakan pernapasan. Dengan kedua tangan merentang serta menarik dalam-dalam udara yang bersih, lantas mengembuskan nya perlahan. Ada uap tipis yang keluar saat Saqila mengeluarkan udara maupun suara. Dingin, sejuk sangat dirindukan pelukan alam telanjang seperti ini.


*


"Sok, sarapan dulu, Neng. Enak lho, ini pecel asli Blitar, bukan pecel plakat Blitar, hehehe," kekeh Pak Yanto semangat mempromosikan masakan tradisional khas Blitar.

"Iya, Pak. Mau nunggu Aa' ajah, biar sekalian."

"Nanti keburu dingin, Neng. Palingan Si Alvan masih molor, dia 'kan nanti juga nyetir biarin bobok dulu."

Hmm Saqila mendengus sedikit kesal, sebab keinginan bertemu Alvan terganjal oleh dia yang tak jua beranjak dari tempat tidurnya. Di depan Saqila ada seorang bapak-bapak dengan perangai badan yang segar berambut keriting, ia sedang menikmati nasi pecel yang juga dipersiapkan keluarga Pak Yanto.

"Mari, Dek, saya duluan."

"Oh ... I-iya, Pak. Silahkan." Saqila sedikit gugup karena kaget mendengar sapaannya, lamunannya masih melayang akan kebersamaan dengan Alvan semalam. Seakan pagi merenggut segalanya, sebab hari ini Alvan hendak pulang ke Bogor.

Yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir, teh hangat di cangkir keramik putih tinggal setengah gelas, Saqila memutuskan untuk sarapan sendirian. Sebuah nasi pecel yang dibungkus kertas cokelat beralas daun pisang. Dengan komposisi nasi hangat yang lumayan porsi besar untuk ukuran wanita, yang menjadi berbeda dengan pecel Malang adalah jenis sayur-mayur yang disajikan. Daun kenikir, daun singkong, serta batang pakis yang direbus setengah matang. Menjadikan sajian pecel berbeda dengan kotanya, Malang tercinta. Rasanya hampir mirip dengan pecel seperti biasanya, namun aroma daun jeruk yang pekat menambah sedapnya masakan. Juga jenis rempeyek kacang yang dipotong secara vertikal bukan horisontal, membuat cita rasa rempeyek kacang terasa. Kripiknya juga sangat tipis, sehingga saat digigit renyah sekali.

Bep ... bep ... suara nada dering sebuah telepon genggam, ada sekitar enam handpone berjajar rapi di sana, tak digubris oleh Saqila, "Biar saja bukan urusanku," batin Saqila. Namun suara itu tak jua berhenti, malah kali ini semacam nada dering. Saat mata Saqila menyusur meja ternyata handpone Alvan yang berbunyi, terlihat nama yang tertera mungkin Ibunya yang berusaha tanya kabar.


Begh. Handpone Alvan terjatuh dari tangan Sqaqila, seketika dadanya berdegup kencang. Belum dapat berkompromi, kedua tangannya gemetar. Sebuah nama perempuan yang ia hafal siapa dia--Nena, nama mantan kekasih Alvan. Mantan, namun kenapa masih berhubungan? Gejolak tanya berhamburan di kepala Saqila. Ia memberanikan diri membuka notif WhatsApp  walau tak sampai terbaca, hanya dari tampilan atas handpone. Ayah dan Bunda, panggilan mesra mereka. Mengapa masih berhubungan? Mengapa ... ah ... Saqila meletakkan kembali handpone di tempat semula. Ia berlari masuk kamar, air mata tak sanggup lagi tertahan. Rabb inilah kata hati itu, Rabb inilah jawaban itu. Mengapa Aa' begitu tega. Saqila menyeeka air mata, berusaha tegar. Namun ia butuh Olla, walau butuh waktu lama untuk menjawab pesan namun baginya Olla bagai candu yang menenangkan Saqila. Segala amarah dan kekesalan diungkapkan padanya. Benar saja, nasehat Olla selalu menenangkan.

'Dek, sakit hati boleh. Tapi kudu tetep cantik, sebab ke-cantikan itu akan membuat dirimu berbeda di hadapan pecundang.'

Hampir satu jam Saqila berdiam diri di kamar, sampai Alvan datang dan masuk ke kamar. Saqila tahu gelagatnya hendak memeluk dengan posisi tangan yang telah direntangkan hendak merengkuh. "Ogah, ah ... bau. Sono mandi dulu," alibi Saqila pada Alvan. Ia hanya tersenyum lantas keluar menuju kamar mandi. "Alvan Praha lihat siapa yang kau hadapi saat ini. Permainan belum dimulai, jangan salahkan aku yang kau sakiti!" ceracau Saqila berapi-api.


Tas dan beberapa perlengkapan sudah ditenteng, kamar juga telah rapi. Persiapan pulang sudah beres, tinggal menunggu kesiapan teman-teman kantor Alvan sekaligus dirinya. Saqila harus bermain cantik, sebab sebentar lagi perpisahan dengan Alvan

Jumlah kata 1400 (sisanya lupa berapa)

SILAHKAN BERIKAN KOMENTAR KALIAN GUYS, UNTUK KEBAIKAN NASKAH INI.

TERIMA KASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH MELUABGKAN WAKTUNYA UNTUK MEMBACA NASKAH SAYA.

[ Bersambung BAB 2)

Malang, 16 Maret 2016
Maya Madu

8 komentar:

  1. Wah semangat ya heehehhee semoga bisa selesai hingga waktu yang ditentukan ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheheh Makasih Mas Putra, semoga continuitas deh. Masih mau belajar tekun neh :)

      Hapus
  2. Saya menyimak saja dulu.
    Menarik ceritanya.
    siap mengikuti lanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih bersedia baca Umi :) semoga bisa tekun 100 hari (tamat)

      Hapus
  3. Seratus hari itu banyak, sehari satu bab aja kalau rajin jadi 100 bab. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sehari cuman 500 kata, genap 100 hari 50.000 kata kisaran 100 halaman. Jika mencapai 4 bab terakhir gak perlu dipublis. Trus sebelum 100 hari kelar gpp. Untuk melatih konsisten diri heheheh

      Hapus
  4. Semangat Mbak, ayuk lanjutkan cerinta :)

    BalasHapus