Selasa, 22 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part2),Supranatural,Indigo,Maya Madu

#Tantangan100HariMenulisNovel
Penulis : Maya Madu
No. Reg : 36



BAB 2
GREAT MAMA



Ibu muda nan seksi berjalan tergesa, beberapa kali sesuatu yang dibawanya terjatuh, bukan disengaja namun karena sikapnya yang terburu-buru. Rumah berpagar setengah tinggi tubuh manusia dewasa diketuknya untuk beberapa kali. Sampai akhirnya seorang gadis bergelung di atas kepala dengan ikat rambut yang juga besar menyambutnya.

"Cie ... cie ... emak gaul udah cantik, mau ngajakin jalan neh?" ledek gadis tersebut sembari bersandar di pelipis pintu. Yang ditanya malah terlihat panik dengan mimik wajah yang sulit dijelaskan.

"Dek, please, tolongin gue. Aldi, Dek ... Aldi."

"What? Aldi kenapa, Kak? Sini deh masuk dulu."

"Aduh, kagak sempet. Pokoknya elu kudu anter gue, Dek. Gue bingung minta tolong ama siapa lagi. Aldi di kantor polisi." Gadis bergelung tersebut membulatkan mata dengan bibir terbuka membentuk huruf 'O'. Menggangguk pelan, lantas berlari masuk rumah mengambil handpone dan jaket.

"Yuk ..., Kak." Mereka berjalan tergesa hingga ke jalan raya.
Olla menyetop taxi yang melewati arah komplek perumahannya, mungkin itu taxi yang telah dipesan tadi atau malah kebetulan lewat.

"Pak, Polres pusat yah, cepetan," ucap salah satu perempuan yang duduk di jok belakang taxi.

"Iya, Bu." Supir berseragam biru langit bertopi dongker menyalakan speed harga yang dimulai dari angka 5.000,-. Saqila duduk pas di belakang supir, sedang Olla berada di samping Saqila. Perlahan setelah mengambil nafas panjang ia menjelaskan kronologi mengapa anak angkatnya itu sampai ke kantor polisi. Sepulang sekolah tadi Aldi menegur teman wanita yang berbeda kelas. 'Jangan urakan di jalan'. Sebab temannya tersebut sedang berboncengan dengan tiga anak sekaligus, tanpa savety helm juga. Posisi mereka juga ngebut dan berjalan zig-zag menakut-nakuti teman yang sedang jalan hendak ke halte depan jalan raya. Aldi menegur mereka, 'jangan ngebut entar jatuh, lho!' Namanya anak-anak kalau dikasih tahu masih saja menyepelekan. Aldi memberi peringatan untuk kedua kali, namun mereka juga tak menggubris. Dengan berteriak-teriak Aldi menyampaikannya. Saat hendak teriak untuk ketiga kalinya sepeda motor itu telah tersungkur, ban belakang terpeleset undukan pasir saat mengerem mendadak. Posisi pengendara parah hingga dilarikan ke UGD, sedang kedua temannya digiring ke kantor polisi beserta Aldi sebagai saksi mata.


Olla membayar ongkos taxi dan berjalan menuju resepsionis depan Polresta. Setelah beberapa perbincangan, akhirnya bapak berseragam polisi tersebut menunjukkan ruangan yang dimaksud Olla. Tak lupa Olla mengucapkan terima kasih, lantas mereka berjalan ke lantai dua. Ada dua wanita teman anaknya di sana, juga Aldi dan satu polisi sebagai pencatat kasus kecelakaan tunggal.

"Kamu gak papa, Nak?" Yang ditanya hanya menggeleng lantas tertunduk, seakan penyesalan atas apa yang diucapkan.

"Tante, itu Aldi nyumpahin kami jatuh. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali." Seorang gadis berambut lurus berekor kuda menyalak. "Huum, Tante, emang si Aldi tuh yang bermasalah, kita jadi apes tauk." Teman si gadis ikut menyalahkan. Bukan menyadari perbuatannya malah menyalahkan orang lain. Aldi hanya menggeleng, tangan kanannya memijit-mijit kaki kirinya.

"Kamu, kenapa, Di?" tanya Olla yang mengkhawatirkan keadaan anaknya. Diperhatikan kaki Aldi dengan posisi sedikit menekuk lutut. Kain seragam abu-abu tersebut disingkap hingga sebatas lutut, dan bekas memar merah membilur di kaki Aldi. "Ini apa? Kenapa sampai merah begini. Gimana sih ceritanya? Coba kasih tahu Mama." Beberapa lama Aldi hanya bungkam dan menjawab 'tidak tahu' namun Olla terus saja mendesak hingga Aldi menceritakannya.

"Aku berusaha peringatin mereka, Ma. Bukan hanya sekali sebab mereka bawa sepedanya sambil ngebut dan jalannya belok-belok. Saat mereka memutar yang ketiga kali sambil nakut-nakutin kita yang jalan lantas nyerempet kaki kiriku. Aku udah ngomong lagi, tapi mereka malah kabur pas habis nyerempet aku."

Di hadapan polisi mereka berdua ditanya kembali bagaimana kronologi kejadiannya. Namun jawaban dari keduanya kurang kompak sehingga lelaki berkumis tebal yang sedang mengetik sesuatu sedikit mengangkat suara. Dengan terbata gadis berekor kuda menjelaskan bahwa apa yang diceritakan Aldi benar adanya. Mereka berdua meminta maaf dan mohon jangan sampai diperkarakan. Mereka takut jika orang tuanya tahu.

"Tante, maapin kita berdua yah. Temen kita masih di UGD, Tante. Jika pemeriksaan di sini sudah selesai kita mau pamit ke sana." Olla bergeming, lantas menjelaskan kepada polisi yang bertugas  bahwa kasus ini akan diselesaikan secara kekeluargaan. Namun berkas perkara yang terlanjur dituliskan harus melalui prosedur administrasi yang ditentukan. Setelah Olla menyelesaikan pembayaran, akhirnya ikut ke UGD-Saiful Anwar yang terletak di seberang jalan.

Saat berada di UGD ternyata pengemudi yang juga teman Aldi sudah dipindahkan di ruang perawatan kelas tiga. Menurut orang tuanya besuk sudah boleh pulang dan rawat jalan. Sebab luka di lutut dan siku serta pipi kanan-nya bisa diobati sendiri. Tentu saja Olla tak tinggal diam, walau merasa Aldi tak bersalah tapi sisi manusiawinya masih mentolelir dan memberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan. Lantas mereka semua saling bermaafan.

"Urusan selesai ya, Pak, Bu. Kami mohon pamit." Tangan Olla menjabat satu-per satu Ibu, Bapak dan teman-teman Aldi. Diikuti oleh Saqila dan Aldi juga. Mereka melangkah keluar ruangan dan tangan Olla sibuk menelepone taxi.

Sepanjang perjalanan pulang Aldi hanya bergeming, seperti tak terima akan tuduhan yang tadi dilayangkan oleh kedua teman sekolahnya.

"Kamu itu kenapa, Di? Kok masih diem gitu, udah gak bakal Mama aduin sama Papa kok."

"Gak papa, Ma, cuma kesel aja. Tuh temen-temen udah dikasih tahu malah ngeyel. Aldi tuh tahu mereka bakalan jatuh makanya aku suruh hati-hati. 'Kan beneran jatuh, ehh malah nyalahin aku."

"Ya udah yang penting kamu sudah ngejelasin, habis perkara."

"Tapi urusannya belum-" Aldi menghentikan ucapannya.

"Apa? Kamu mau ngomong apa lanjutin." Olla memerhatikan raut wajahnya di cermin compack-nya.

"Hmm ... emak gaul, dalam keadaan sibuk juga sempet gitu ngecek posisi alis. Napa, Neng, takut lutur kena keringat. Hahaha." Tangan usil Saqila sengaja menyentuh alis Olla dengan kasar, lantas memerhatikan jari telunjukkan. "Aman ... sudah nempel tuh, neh kagak ada jejaknya di tangan." Duo heboh tertawa bersama, Aldi bergeming, matanya menyusur sepanjang jalan. Taxi parkir di depan rumah Olla, setelah membayar tarif taxi lantas Olla berjalan mendekati Saqila. Aldi ngeloyor masuk rumah terlebih dahulu.

"Dek, syukurlah satu urusan kelar. Moga ajah tuh emak si siapa temen cewek yang di rumah sakit?"

"Gak tahu, emang kita tadi tanya?" sahut Saqila cepat dengan memainkan alisnya naik-turun. "Kak, aku langsung pamit ajah deh, mau selesaiin PR hehehe."
"Oki-doki, Dedek Cantik, tapi masih kalah cantik ama gue." Olla nyengir kuda. Tangan kreatif Saqila tanggap mencowel pipi Olla lantas berlari menghindari balasan dari Olla.

"See you next, Kak ... coling-coling yeee."

***

Semenjak kedatangannya dari rumah sakit, Aldi mengurung diri di kamar, ia hanya keluar untuk mengambil wudhu dan air minum. Olla sudah menawarinya makan, namun tak ada jawaban. Abrisyam Haris atau yang kerap dipanggil Risyam kakak angkat nomer satu di keluarga Olla mencoba mengecek keberadaan adiknya. Seusai kuliah anak band satu ini masih suka ngisengin adik-adiknya. Apalagi Aldi, yang notabene polos jika sedang kena usil kakaknya. Gitar listrik pemberian Papanya dipegang sembari meluncur ke kamar Aldi. Seperti biasa tanpa salam dan tanpa ketukan pintu asal ngeloyor masuk, terkadang malah menggagetkan adiknya itu dengan suara-suara keras. Namun kali ini Risyam terlihat tenang, tanpa suara. Risyam melihat tubuh Aldi tertutup penuh dengan selimut bulu halus berornamen bendera club sepak bola Arsenal.

"Dek ... bangun, Dek ... makan noh." Risyam membangunkan Aldi dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Namun tak ada jawaban. Tangan Risyam ditempelkan pada kening Aldi. Betapa terkejut mendapati adiknya yang demam tinggi. Kok Mama diam ajah sih, adik sakit gini, batinnya sendiri. Tubuhnya beranjak dari tempat tidur, gitar listrik diletakkan di samping tempat tidur adiknya, lantas bergegas mencari Mamanya untuk memberi tahu.

"Ma ... Mama udah tahu belum sih? Noh Si Aldi sakit, demamnya tinggi lho. Sampai bibirnya pucat," gopoh Risyam pada Mamanya.

"Serius, Sam. Kok Mama gak tahu, pantes ajah Aldi kagak keluar kamar. Ternyata demam, ya udah Mama lihat sekarang."

Mereka bergegas ke kamar Aldi. Waktu telah menunjukkan malam hari tanda-tanda kepulangan suami Olla masih belum terlihat. Juga tak ada kabar seperti biasanya. Namun yang jadi prioritas utama Olla saat ini adalah Aldi.

"Di ... bangun, Sayang. Maem trus minum obat. Biar gak demam terus." Aldi bergeming, matanya menutup dengan kedua tangan mengepal meremas selimut, seperti menahan sesuatu. Mungkin kedinginan setelah demam tinggi, lirih-lirih bibirnya berceracau yang tak dapat didengar. Olla bangkit dan menopang pinggang, menarik napas panjang dan dikeluarkan. "Sam, anter Mama ke dokter, sebelum demam adikmu semakin tinggi." Ibu muda dengan keenergik-an membenahi posisi rambut yang ikatannya melorot. Ya Allah ... kok ada ajah yah. Semoga gak ada apa-apa. Olla ingat sesorean belum mengabari suaminya, entah ada meeting di mana atau janji dengan siapa? Kesibukan rumah menyita perhatian terhadap suaminya. Semoga Papa cepet bales. Wanita seperempat abad itu mengigit bibir bagian bawahnya. Banyak orang menutupi kecemasan dengan menggigit bibir. Please, Pa, angkat dong telponnya. Si Aldi sakit ini.

"Ma ... mobil udah siap, neh. Buruan!"

"Buruan gimana, orang si Aldi ajah kagak bangun gini, yuuk bantu Mama nopang tangannya berdua." Remaja kelas 12 itu memiliki postur lebih berisi ketimbang Risyam kakaknya, sehingga Olla kesusahan untuk menggangkat berdua.

"Dek, bangun ... kasihan Mama sama Kakak lho, berat banget." Tangan Olla yang sudah dibasahi dengan air mengusap wajah Aldi. Remaja dengan kulit cokelat muda tersebut mulai bersuara.

"Ma, sa-kit." Olla tak mendengar jelas namun ia lega sebab Aldi sudah bangun, sehingga bisa sedikit meringankan beban tubuhnya. Perlahan tangan Risyam membopong lengan Aldi di pundaknya sebelah kiri dan didampingi Olla di sebelah kanan. Mereka meluncur ke rumah sakit RSUM, dirasa yang paling cepat penanganannya.

"Ma ... kok diinfus lagi sih, Ma," lirih suara Aldi.

"Gak papa, Sayang. Biar enakan lagi badannya. Cuman sebotol ajah kok, sebab seharian kamu gak keisi makan dan minuman."

"Ma ... Papa suruh pulang. Sekarang, Ma ... sekarang." Remaja tanggung itu kembali memejamkan mata, bibirnya berceracau namun tak terdengar.

"Kamu kenapa, Di? Bukannya yang kecelakaan temanmu? Kok kamu ikutan sakit?"

Plak! Tangan usil Risyam menyentil lengan Aldi. Dengan harapan bisa semangat untuk sehat dan pulang kembali ke rumah.

"Sakit, Kak. Somplak, Loe," Aldi meringis menahan sakit di lengannya.

"Habis loe juga lebay pake' sakit segala." Risyam mencoba memencet hidung adiknya. Saat Risyam memeriksa kondisi badan Aldi  lumayan membaik, demamnya berkurang.

Aldi mulai bersuara, ia menceritakan bahwa sebenarnya ia tengah berkelahi dengan sosok makhluk yang mengganggu Papanya. Sosok serupa manusia yang sangat tinggi dan besar, sekitar dua meter lebih. Menggunakan baju serba hitam rambutnya panjang sebahu dan kusut. Aldi tak tahu apa yang hendak dilakukannya, yang Aldi ingat bahwa jalan menuju arah pulang seakan disamarkan hingga Papanya tersesat jalan. Kemungkinan terparah bisa masuk jurang. Aldi hanya menghalau dengan bahasa yang ia sendiri tak mengerti. Yang ia tahu seperti berucap, "jangan ganggu Papaku". Sosok itu memukul bagian perut Aldi dengan bogemnya.

"Udahlah, Dek, jangan cerita lagi. Mama dengernya serem. Siapa lagi yang ingin mencelakai papamu," Olla setengah tak percaya akan cerita anaknya, "Kamu, gak sedang mengigau lagi, kan?"

Cerita Aldi memang tak begitu saja dipercaya oleh akal manusia, namun keanehan-keanehan yang ditunjukkan sedari kecil membuat apa yang dikisahkan Aldi sedikit percaya. Sekali pun akal sehat kita menolaknya.

Aldi adalah anak pertama laki-laki dari keluarga kakaknya Olla, saat Mama Aldi hamil anak kedua dan Aldi berusia 2 tahun telah menunjukkan sesuatu di batas akal kita. Waktu itu liburan keluarga besar, karena takut merepotkan Mama Aldi yang hamil muda, maka Papanya membawa Aldi yang masih kecil naik ke Gunung Bromo beserta keluarga besarnya. Yang menjadi perhatian berawal dari pemberhentian mobil di batas parkir mobil Gunung Bromo arah ke kawah. Aldi kecil tak mau digendong, terlebih saat berjalan menaiki tangga Kawah Bromo. Tanpa terlihat kelelahan justru ia berlari-lari senang. Jaket dan slayer yang melekat jua minta dicopot. Dalam kondisi dinginnya udara Bromo masih juga berkeringat. Baru saat turun dari kawah ia meminta susu lantas turun seperti orang dewasa lainnya. Fisiknya sangat kuat dan daya ingatnya sangat tanggap, semisal disuruh menunjukkan tempat ia paham melewati mana, dengan bahasa yang cadel.


Pun ketika pemuda tetangganya yang sedang iseng bertanya siapa club sepak bola yang bakal keluar sebagai juara pasti dengan sigap ia menjawab. Padahal tahu apa Aldi kecil dengan club sepak bola, apalagi pertandingan belum dimulai. Semakin lama rumor tentang Aldi kecil semakin menggelitik telingan tetangga yang lain. Saat Aldi kecil bermain dengan asisten rumah tangganya, ada yang bertanya nomer togel berapa yang bakal keluar hari ini. Tak ada tebakannya yang meleset. Kekuatan dan kelebihan Aldi bertahan hingga kelahiran adiknya, semakin tumbuh besar Aldi kecil semakin rapuh. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit, demam tinggi yang tak turun-turun setelah ia memberitahu sesuatu yang besar--entah kematian atau musibah sanak-keluarganya.


Beberapa kali orang tua Aldi mendatangi orang pintar di suatu daerah di Banten, bukan hanya satu orang, ada beberapa padepokan. Namun kekuatan dan kelebihan yang Aldi miliki didapat dari temurun pilihan, ini menurut Mang Agung--guru spiritual yang mengelola padepokan 'Turangga Seta'. "Jika kamu mau anakmu sembuh, pisahkanlah dari bapaknya. Tersebab nanti dikemudian hari justru bapaknya yang kalah." Begitu ucapnya pada Papa Aldi. Dari rapat kecil keluarga akhirnya memilih Olla yang belum memiliki anak kandungm dengan harapan sebagai pancingan. Walaupun di rumah Olla sudah ada Risyam--anak kakaknya Olla nomer satu. Diasuh Olla karena Papa dan Mamanya bercerai. (Bersambung masih dilanjutan BAB 2)


.

Maaf atas keterlambatan memosting, ini saya posting langsung 2000 kata lebih :)

Silahkan diberi kritik dan sarannya.

Maya Madu
22 Maret 2015

2 komentar:

  1. aaaaak, kereeen Kak May, ditunggu lanjutannya *tag ya Kak hehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehhehehe tuh Part 1-nya di bawah sini. Mohon semangartnya biar bisa kontinue :)

      Hapus