Selasa, 29 Maret 2016

Novel,Mata Ketiga(Part3),Supranatural,Indigo,Maya Madu


#Tantangan100HariMenulisNovel
No. REG : 36


MATA KETIGA
Penulis : Maya Madu




Gambar Koleksi Maya Madu Art


BAB 3
AWAN HITAM

(Sebelumnya lanjutan Bab 2 hingga habis)


Olla memeriksa suhu tubuh anaknya, panasnya memang reda. Ia berharap besuk sudah boleh pulang. Tanggannya membenarkan letak baju anaknya, "Udah, Ma, gak papa kok. Pijitin ajah deh."


"Hm ... dasar yaa, anak Mama sudah pada gede jadi malu kalau dibenerin segalanya. Lho, Di, ini apa?" Olla tak sengaja melihat tanda merah kecokelatan, justru kaos yang melekat di tubuh Aldi diangkat ke atas, betapa terkejut ketika Olla juga disaksikan Risyam melihat bekas telapak tangan berwarna merah kecokelatan. "Apaan sih ini?"


Aldi meronta, ia tak ingin membuat Mamanya khawatir terhadap dirinya. "Gak papa, Ma. Entar juga hilang sendiri kok. Gak ada yang perlu dikhawatirin." Sebuah memar merah kecokelatan seperti yang tadi Aldi kisahkan, bahwa ia bertarung dengan sosok yang sangat besar dan menggunakan pakaian serba hitam. Risyam dan Olla bersitatap mereka masih bingung atas keganjilan yang terjadi pada adeknya.


Hello, it's me. I was wondering if after all these years lirik lagu Adele mengalun dari handpone Olla. Diperhatikannya layar nama yang tertera, Saqila. Mengapa neh bawel nepon gue. 


"Kak, kakak di mana? Kok rumah sepi. Neh ada Pak Yayan sama beberapa warga lagi ngumpul di sekitaran rumah kamu. Dan yang aku lihat ada banyak ulat bulu di sekitaran pintu masuk. Coba deh cek sendiri kalau sudah pulang. Aldi yang sedang rebahan di tempat tidur rumah sakit hanya menyimak dengan mata tak berkedip. Risyam sibuk dengan headseat yang terhubung dengan handpone-nya. "Entar, Dek, kalau udah pulang, sekalian besuk ajah. Gue ama Risyam jagain si Aldi. Aldi opname, demamnya tinggi. Tapi udah mendingan sih sekarang. Nanti Papahnya yang ngecek kalau udah pulang. Thanks yee, Dek."

"Okey deh, Kak, semoga si Aldi lekas sembuh. Salam juga ama Risyam."
"Siap, entar disalamin."

Setelah telepone ditutup Olla hanya geleng-geleng kepala pelan, ia seakan lelah dengan apa yang sedang di hadapinya.

"Ma, entar kita pulangnya ke rumah Kakek ajah sementara, di rumah lagi banyak tamu." Aldi tiba-tiba menyambar omongan.

"Tamu siapa, Di? Kok kamu tahu?"

"Kalau gak percaya tanya ajah Papa, dia yang ngerti kok."

Tamu yang di maksud Aldi adalah musuh-musuh kasat mata yang dikirim seorang saingan Rozi Fauzan, suami Olla. Bisnis properti-nya mengalami kemajuan pesat. Sebab ia berani menyebar koneksi dengan lingkup selain di Malang saja. Apalagi permintaan pangsa sedang bagus untuk proyek rumah sederhana. Sehingga tak sedikit yang berniat buruk padanya. Olla menelepone suaminya, menanyakan apa yang terjadi. Beberapa kali mencoba mengubungi sampai akhirnya suara berat lelaki pecandu nikotin dari balik handpone menjawab.

"Pah, Papa di mana neh?"

"Udah sampai rumah neh, Ma. Lah Mama sendiri di mana? Anak-anak juga." 

"Si Aldi masuk rumah sakit, Pa, sekarang aku sama Risyam jagain dia. Kami di RSI Unmuh."

"Lho, kok sampai opname, memang kenapa?"

"Demam, Pa, sampai mengigil. Sekarang sudah mendingan, besuk sudah boleh pulang kok. Papa sama siapa di rumah?"

"Kok Mama tanyanya gitu? Tahu kalau Papa sedang sama Gus Ali. Ada sedikit masalah Ma, kalau udah di rumah Papa ceritain. Untuk sementara kalian nginap di rumah Bapak yah."

"Masalah apa?" Wanita 25 tahun tersebut menyilakan rambut yang jatuh di wajahnya yang lelah. Kecambuk tanya masih bersarang di pikirannya, apalagi yang sedang terjadi pada keluarganya. Ini bukan hal baru dalam hidupnya, sebab pernah saat suaminya mendapatkan tander pembangunan masjid dan jalan masuk perumahan elit di kota ini. Sempat kecelakaan--jatuh dari lantai dua, yang notabene-nya aman. Jatuhnya pun seperti ada yang menarik kaki sebelah kiri Rozi. Namun Rozi menganggapnya musibah, bukan sesuatu yang ganjil.


***


BAB 3
AWAN HITAM


Belahan bumi bagian timur Kota Malang berawan, kesibukan para pekerja dimulai semenjak matahari menampakkan sinarnya. Di kota ini hampir menjadi kota metropolis, kota tak pernah tidur. Saqila telah bersiap kerja, hari Jumat hingga Minggu menggunakan pakaian bebas tanpa seragam butik. Jogger Pant dengan kemeja flanel biru dipadukan dengan ikat rambut tinggi tanpa sisa, tampak elegan namun girly. Bibirnya terpulas lipbalm rose ping sehingga tampak berbinar namun teduh. Membuat mata yang melihat ingin sekadar menyapa untuk mendekat. Ia berpamitan kepada Mama Fatma dengan mencium punggung tangan serta kening wanita 49 tahun tersebut. Selalu mendoakan yang terbaik setiap hendak mencari nafkah untuk anak gadisnya.


Keceriaan wajahnya sesuai dengan keceriaan perangainya, tak ada penghuni stand yang tak luput disapanya. Kesupelan-nya membuat dikenal banyak orang. Sesampainya di butik dan menempelkan jari manisnya ke finger touch  ia pergi ke kamar ganti untuk mengecek dandanannya. Beberapa lama tak suara sampai teman satu shif dengannya mendatangi untuk berbicara.

"Lama banget La ... La ... Qila sya lala lala. Saatnya cari Brownis--brondong manis apa cari Duren Srikaya--duda keren kaya raya, neh. Hahaha." Namun yang diajak bicara tak ada tanggapan hingga gadis berpipi tirus tersebut membuka kamar ganti butik. Alangkah terkejutnya mendapati Saqila sedang jongok menahan sesuatu. Teman butiknya ikut panik ia memanggil-manggil Saqila. 

"Sakit, Ri. Tolong aku." Tak ada suara setelah itu. Teman kerjanya bingung, hingga membiarkan tubuh Saqila tertidur di lantai, ia sedang mencari bantuan. Security yang sedang bertugas dipanggil guna menolong temannya. Saqila pingsan beberapa menit, setelah diberi minyak angin lantas siuman. Namun yang membuat gadis bermata bulat memekik histeris lantaran kakinya tak bisa untuk menumpu lantai. Seperti lumpuh layu, tanpa tenaga, namun masih bisa berbicara. 

"Ri, aku kenapa? Kok tiba-tiba seperti ini, tolong bilang sama Yoga dan Dion security itu untuk bantu aku pulang sampai rumah. Tolong izinkan sama Bu Bos yah." Gadis yang dipanggil Ri menggangguk, security yang menolong Saqila segera menyampaikan kepada kedua temannya yang sudah selesai bertugas. "Sabar yah, La, semoga kamu cepet sehat." Saqila hanya menggangguk lemas.

Sesampainya di rumah Mama Fatma panik, bingung mengapa Saqila dipapah oleh kedua lelaki bersergam biru-dongker. Saqila hanya berkata lirih, "Aku gak papa kok, Ma."

"Gak papa gimana? Wong kamu seperti ini." Mama Fatma memersilakan kedua lelaki yang membantu anaknya untuk duduk dan beramah-tamah sejenak. Namun keduanya langsung pamit kepada Saqila dan Mama Fatma.

"Makasih yah, Mas, semoga cepet dapet jodoh." Sembari tersenyum Saqila sempat mencandai mereka.

"Nah, kamu juga keles." Juluran lidah Dion pada Saqila, "cepet sembuh yaa." Mereka melangkah pergi dan memberi salam.

Dalam keadaan sedih masih sempat bercanda. Mama Fatma menatap wajah kuyu anak gadisnya, "Kenapa lagi, Nak?" Saqila menggeleng pelan, air matanya mengalir di kedua sudut mata. Tangan Mama Fatma digenggam erat, "Maafin Aku, Ma, jika Aku ada salah sama Mama." Mama Fatma menyeka air mata yang merembas di pipinya. "Tiba-tiba Aku tak bisa jalan." Derai air mata Saqila semakin membanjir, dipeluknya Mama Fatma sebagai penenang baginya.

"Sudah, Qi, nanti malam kita ke Dokter Andy saja. Mungkin kamu terkena virus lumpuh layu. Bukannya di RT 2 juga ada yang kena."

"Tapi, Ma ... aku gak sakit, badanku juga gak panas. Waktu itu saat sampai di butik aku ke ruang ganti, saat bercermin seakan-akan ada awan hitam di sudut ruangan. Nah aku kira mataku yang bermasalah, mungkin pantulan cermin yang membias terkena embusan napas. Soalnya saat itu memang lampu gak aku hidupin cuma mengandalkan cahaya dari atas bufet. Aku menghalau cermin dengan harapan bisa bersih, ternyata kakiku malah sakit. Aku pijit-pijit telapak kakiku malah makin sakit, lantas gak ingat apa-apa." Mama Fatma menyimak anaknya bercerita. Lantas menenagkannya untuk segera beristirahat.


***


Saqila telah berobat ke dokter kesekian kalinya, bahkan ahli akupuntur. Dengan harapan ada jawaban atas sakit yang dideranya. Hampir satu minggu ia tergolek lemah di kasur. Wajah cerianya memburam-lesu. Nafsu makannya menurun drastis, saat diperiksakan untuk kedua kali malah hanya diberi vitamin dan obat penenang. Diagnosa dokter hanya kecapean dan strees. Mama Fatma semakin kerepotan, sebab jika hendak ke kamar mandi harus ditemani dan dipapah berjalan. Semangat hidup Saqila memudar, bahkan ia lupa tentang orang-orang terdekatnya. Kecantikan yang biasa mewarnai cermin seakan sengaja ditutup. Kerung matanya semakin menjorok ke dalam, bibirnya kering dan pucat. Tak ada lagi warna-warni pelangi kehidupan. Gelap dan suram, kesepian dan kesendirian sengaja diciptakan Saqila.


Melihat kondisi Adiknya yang seperti mayat hidup di atas kasur membuat Qonita ngilu. Santer terdengar kabar miring bahwa Saqila terkena kembang amben sebuah pelet yang dikirim seseorang untuk menyengsarakan korbannya. Tak ada yang tahu jika si korban terkena pelet ini. Sebab tanda-tandanya tak seperti pelet pada umumnya. Yang diserang memang kekuatan otot-otot tubuh, tubuh seakan tak bertulang dan tak berotot. Si korban hanya tertidur di kamar, biasanya meratapi diri dan jika korban tak kuat atas sakit yang tak kunjung sembuh maka jalan paling akhir adalah kematian--bisa bunuh diri atau mati karena dehidrasi akut. Qonita membawa ahli spiritual yang disarankan oleh suaminya. Sedangkan Mama Fatma pasrah atas apa yang terjadi. 


Lelaki berrambut perak yang dibawa ke rumah Saqila bernama Kang Hariri, setelah meminta izin untuk mengobati Saqila. Ia meminta sebuah media perantara. Berupa air putih hangat kuku, yang dipegang Saqila serta diberi bacaan ayat-ayat Alquran; Al-Fatihah 3x, tiga Qulhu masing-masing 3x. Kang Hariri sendiri membawa sebuah gelang monel yang nanti dipakai Saqila. Mata Kang Hariri terpejam, semacam berdoa dan kedua tangannya menggosok gelang, hingga tak kuat dan gelang tersebut terjatuh di sekitar kaki Qonita. Qonita memungut gelang monel tersebut namun dihempaskan lagi, "Aduh, kok panas yah, Pak." Suami Qonita mencoba memegangnya juga dan hal yang sama juga dirasakannya. Setelah membaca basmalah Kang Hariri kembali memungut gelang tersebut, dilapisi tisu hingga tak terlalu panas. Qonita membantu memasangkan di tangan kanan adiknya. Lantas Saqila meminum air yang ia doakan sendiri.

"Setengah diminum, lantad setengahnya silakan dibalurkan pada seluruh tubuh, termasuk kaki dan telapaknya. Inshaa Allah semoga lekas diberi kemudahan oleh Allah," Kang Hariri menjelaskan.


Mama Fatma tampak cemas, ia berharap anaknya sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala. "Percayalah, Anakku, Allah tak akan menguji hambanya melebihi kekuatan yang ia miliki." Saqila kembali menangis dipelukan Mama Fatma. Kang Hariri berpesan jika ia harus memaafkan segala kesalahan orang yang melukainya. Apa kesalahan itu hanya Saqila dan keluarganya yang tahu. Setelah proses pengobatan wirid yang Kang Hariri lakukan, lantas ia berpamitan kepada keluarga Saqila.

"Terima kasih, Kang. Semoga adik ipar saya segera sembuh. Kasihan masih muda."

"Iya, Bang, moga tuh sihir lari. Kerjaan orang yang tak terima dengannya. Tolong beri tahu dia, Bang, hati-hati dengan lelaki. Sepertinya ulah orang dekat. Saya tak bisa sebutkan, sebab takut fitnah." Kang Hariri berjalan diikuti suami Qonita, mereka masuk Mobilio merah yang dikemudikan suami Qonita.

***

Suasana senja sangatlah cantik, sebab warna saga berbalut violet yang indah. Saqila duduk di sebuah amben bambu berplitur, tempat Abuya dulu rebah sore. Namun semenjak Abuya meninggal hanya menjadi tempat barang-barang yang tak difungsikan seperti sebelumnya. Pagar rumah berwarna kuning gading bersanding hijau apel membuat rumah ini semakin sejuk. Mama Fatma sedang ke rumah tetangga, setelah memapah Saqila di amben depan lantas membuka pagar begitu saja. Sosok lelaki berkemeja garis hitam-abu berpadu celana jins hitam pekat berdiri di dekat pagar rumah Saqila.

"Selamat sore, Tuan Puteri, sudah sehatkah Anda?" Mata Saqila terbeliak, bibir bawahnya digigit--cemas. Seseorang yang sangat ia hafal. Seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membawa Saqila pada titik paling rendah. Mantan tunangannya, lebih tepatnya mantan calon suami. 


Dua Tahun Lalu


Hari yang dinanti para gadis ketika dambaan hatinya mengetuk pintu rumah untuk mengikat janji suci. Riki Rakabumi, lelaki yang Saqila kenal melalui teman kerjanya (saat Saqila bekerja di bidang intertaimen) telah berjanji akan sehidup-semati dengannya. Tak perlu menunggu terlalu lama, hanya tujuh bulan mereka kenal dan dekat, Riki melamar Saqila secara pribadi. Yang selanjutnya secara resmi di hadapan keluarganya. Sifat posesive tempramental telah diketahui oleh Saqila, namun rasa cinta dan tanggung jawab--menurutnya. Membuat menyisihkan sifat buruk calon suaminya. Persiapan pernikahan telah 85% sebab dua hari kemudian mereka menjadi sepasang kekasih halal. Prosesi pingitan menjadi cara unik untuk menebar kerinduan, tentu saja menyiksa bagi Riki. Sebab sedikit saja lost contack dengan Saqila pasti ia mencak-mencak.


Rasa rindu membuat Saqila nekat bertandang ke kontrakan calon suaminya, tentunya dengan alasan yang diada-adakan. Dalam langkah penuh hati-hati Saqila mengendap-endap memasuki rumah Riki, berharap memberi suppraise tentang kedatangannya. Sesuatu yang janggal terlihat, namun tak dihirau oleh Saqila. Diteroboslah kamar Riki berharap ia mendapatkannya. Namun justru suppraise itu berbalik ke arahnya, bukan kejutan kebahagiaan namun kehancuran. Di depan mata telanjang Saqila mendapati calon suaminya sedang berkelamin dengan wanita lain. Begitu remuk-redam hati Saqila, bahkan suaranya tak dapat berteriak. Syok dan sangat terpukul sekali. Riki mengetahui kedatangan Saqila dan berusaha mengejarnya, namun kondisi saat itu tak memungkinkan ia dapat menangkap Saqila. Kepalan tangan Riki menghantam tembok bertubi-tubi.


Semenjak insiden menjijikkan itu membuat Saqila benar-benar membenci Riki, bahkan bertemu dengannya pun enggan. Rasa malu yang didera Saqila dan keluarga menjadi prasasti dalam kehidupan Saqila. Tentu saja Riki tak serta-merta terima dengan keputusan sepihak Saqila. Sumpah serapah diucapkannya, "Beibz, jika aku tak bisa memilikimu, orang lain tak 'kan bisa menyentuhmu. Kau tahu apa maksudku? Kau akan menjadi perawan selamanya. Kecuali aku yang merengutnya. Hahaha." Suara-suara memuakkan tersebut selalu menjadi momok dalam diri Saqila, terutama Mama Fatma yang percaya dengan omongan tetangga. Namun dalam pemikiran Saqila ia masih punya Tuhan tempat berkeluh-peluh yang selalu menjaga kerahasiaan masalahnya.


"Mungkin saat ini kau masih bisa sembuh, tapi esok aku yang akan menyiksamu. Dalam kesendirianmu, dalam pesakitanmu. Kecuali jika kau mau kembali padaku." Lelaki berkemeja garis hitam-abu tersebut melangkah pergi setelah menjatuhkan putung rokok yang ia injak dengan geram. Pergilah kau virus, sebab kedatanganmu tak menjadikanku luluh terhadapmu, ceracau Saqila dengan tubuh yang mengigil. Mama Fatma yang mengetahui anaknya pucat segera membawanya ke kamar, dan memberikan minyak gosok untuk menghangatkan tubuhnya.

 "Ada apa, Sayang? Seperti orang ketakutan." Gadis bersweeter aqua tersebut hanya menggeleng dan merebahkan kepalanya pada bantal. Matanya menerawang langit-langit kamar. Sekali pun tak ada lelaki di dunia ini, aku tak 'kan kembali padamu, Virus. Saqila masih terus berceracau sendiri. 


***


Perlahan kekuatan tubuh Saqila mulai pulih, otot kakinya semakin kuat. Demam dalam tubuhnya berangsur hilang, tak lagi serangan demam tiba-tiba. Namun ia masih tak suka suasana gelap, sehingga dalam keadaan tidur dengan lampu menyala. Pengobatan dari Kang Hariri juga sudah dihentikan, sebab menurut Kang Hariri sugesti kesembuhan ada dalam diri manusia itu sendiri. Saqila yakin bahwa ia harus memulai langkah baru, dengan semangat baru pula. Tanpa terus terkungkung oleh bayangan masa lalu lelaki pengecut itu.
Hampir seminggu Saqila aktif di rumah, dengan beberapa hasil goresan tangannya. Jauh sebelum adanya moment dalam bulai ia telah prepare untuk desain-desain yang nanti diajukan ke bos butik. Handpone berwarna putih dengan layar 5" diraihnya. Mengubungi seseorang yang ia perlukan.

"Assalammualaikum, Mba' Yen."


"Alaikum salam, Qila, apa kabar? Maaf belum sempat menjenguk kamu, aku luar kota terus."

"Alhamdulillah baik, Mbak, semoga Mbak dan keluarga juga demikian. Iya ini sudah baikan kok." Ia mengambil napas panjang unguk melanjutkan pembicaraan, "Mbak, aku mau masuk kerja lagi masih bisa, kan? Aku juga ada beberapa sket baju muslim modern." Setelah berbicara sedikit kelegaan dalam dadanya, sekali pun belum memperoleh jawaban."

"Ya Allah Saqila ... bukannya Mbak sudah pernah bilang sama kamu, jika udah sehat balik lagi ke butik. Kamu sudah eMbak anggap adik sendiri. Semangat kamu untuk inovasi baru sangat berwarna. Ayo kapan masuk lagi, Mbak tunggu yah."

"I-iya ... Mbak, makasih banyak. Diusahain besuk masuk kok." Ada gurat bahagia di raut Saqila, setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dengannya. Dengan loyalitas kerja, dengan pengertian saat ia sakit. Berita baik ini disampaikan kepada Mama Fatma. Melihat anaknya kembali sehat Mama Fatma ikut merasakan kebahagiaan.

***  

(Bersambung di Bab 4 yah . Mangga kasih saran dan kritikanya :) ditunggu :


30 Maret 2016
Maya Madu








Tidak ada komentar:

Posting Komentar